Rabu 13 Nov 2019 08:07 WIB

Akui Pengungkapan Kasus Petral Sulit, KPK Menyerah?

Dua kasus besar membutuhkan dukungan penuh Presiden dan Menko Polhukam.

Mantan Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd. (PES) yang juga mantan Dirut Pertamina Energy Trading (PETRAL) Bambang Irianto (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Mantan Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd. (PES) yang juga mantan Dirut Pertamina Energy Trading (PETRAL) Bambang Irianto (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (5/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menemui banyak kendala dalam pengusutan dua kasus besar, Pertamina Energy Trading Limited (Petral) dan pembelian Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di TNI AU. Pernyataan ini terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut dua kasus tersebut yang dilaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum terungkap.

"Sejauh ini memang ada dua kasus yang menjadi concern Presiden, dan sejumlah pihak yang sudah kami tangani, meskipun butuh waktu karena kompleksitas perkara (kasus) dan perolehan buktinya," kata Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (12/11).

Baca Juga

Pada Senin (11/11) malam, Mahfud MD menyebutkan, Presiden Jokowi sebenarnya berkeinginan memperkuat KPK agar dapat mengungkap kasus besar. Meski tidak menyebut kasusnya, Mahfud mengatakan, Presiden telah menyampaikan laporan sejumlah kasus besar yang tidak terungkap. "Presiden mengatakan, kita sudah berusaha sungguh-sungguh. Tapi, coba ke depannya ini pemberantasan korupsi lebih hadir, lebih kuat," ungkap Mahfud.

Namun, kata Mahfud, versi memperkuat KPK yang disampaikan presiden itu berbeda dengan kebanyakan, yaitu pada tatanan taktis. Mahfud tak menjelaskan kelanjutannya. "Presiden menyebutkan beberapa kasus yang luar biasa. Saya laporin sendiri ke Presiden, atau kami sudah melaporkan kasus ini, tapi enggak disentuh," kata dia.

Mahfud juga mengakui, Presiden Jokowi belum akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK. Jika MK telah memutuskan pun, pemerintah masih akan menganalisis putusan tersebut. "Kita lihat dulu putusan Mahkamah Konstitusi-nya apa, lalu dianalisis lagi apa yang perlu diperbaiki sehingga kita tidak terlalu buru- buru," ujar Mahfud.

Laode membantah jika kasus yang menjadi fokus Jokowi disebut mandek apalagi tidak ditangani. Kasus Petral diawali dengan pembubaran Petral oleh Presiden Jokowi pada 2015 karena dituding sebagai markas para mafia dan kartel bahan bakar umum.

Presiden Jokowi pun memerintahkan reformasi tata kelola migas. Pembubaran Petral tersebut juga menuntut KPK melakukan sejumlah dugaan praktif korupsi di dalamnya.

Laode mengatakan, dalam kasus itu, KPK telah menetapkan Bambang Irianto, mantan direktur marketing Petral, sebagai tersangka. Laode mengaku ada sejumlah kendala yang menuntut negara berperan lebih untuk mempermudah proses penyidikan.

"Perlu disampaikan bahwa kasus ini melibatkan beberapa negara: Indonesia, Thailand, Uni Emirate Arab, Singapura, dan Kepulauan Britania," sambung Laode. Dari sejumlah negara itu, hanya dua negara yang mau membantu KPK, sedangkan dua negara lain tidak kooperatif.

Terlibatnya sejumlah perusahaan di beberapa negara save haven, seperti Kepulauan Britania, menambah kesulitan dalam pengungkapan kasus. KPK pun kesulitan menemukan sejumlah bukti. "Perlu dipahami, penanganan perkara korupsi tentu harus didasarkan pada alat bukti, dan kemampuan memperoleh alat bukti sangat dipengaruhi oleh kewenang an yang diberikan UU kepada KPK," ujar Laode.

photo
Penyidik KPK melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8).

Tunggu audit

Sementara, mengenai kasus Helikopter AW-101 yang terjadi pada 2016, helikopter tersebut sebetulnya masuk dalam rencana anggaran belanja transportasi kepresidenan. Angka belanjanya mencapai Rp 738 miliar.

Laode mengklaim kasus itu menunggu hasil audit kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). KPK juga kesulitan melakukan pemeriksaan sejumlah saksi yang berlatar tentara dan menolak diperiksa penyidik sipil. Kasus ini sangat tergantung pada keterbukaan dan kesungguhan TNI. "Pihak swastanya tengah ditangani KPK," kata Laode.

Laode mengatakan, KPK mengharapkan dukungan penuh Presiden Jokowi, Menko Polhukam, TNI, serta BPK untuk mengungkap praktik korupsi tersebut. "Kasusnya sebenarnya tidak susah kalau ada kemauan dari TNI dan BPK," ujar Laode.

Meski sudah dibeli, Presiden Jokowi menolak helikopter buatan Inggris dan Italia itu. Penolakan Presiden saat itu memunculkan polemik karena disertai dugaan penggelembungan dana belanja dalam pengadaan kendaraan kepresidenan.

Meski begitu, helikopter itu tetap didatangkan ke Indonesia. Panglima TNI saat itu menegaskan supaya dugaan pelanggaran hukum dalam pembelian itu diselidiki.

KPK pun turun tangan. Penyelidikan KPK dan POM TNI menguatkan dugaan korupsi dengan menetapkan enam orang tersangka.Satu di antaranya adalah Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh, sedangkan lima lainnya dari kalangan TNI.

"KPK menangani satu pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode. Namun, sejak penetapan tersangka, sampai saat ini kasus tersebut memang tidak ada kabarnya. (bambang noroyono/ronggo astungkoro/antara ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement