Senin 11 Nov 2019 16:42 WIB

UII Berharap Hakim MK Gunakan Kacamata Langit

UII mengajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Teguh Firmansyah
Konferensi pers pengajuan judicial review dari Universitas Islam Indonesia (UII) atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Kampus Pascasarjana UII, Senin (11/11).
Foto: Wahyu Suryana
Konferensi pers pengajuan judicial review dari Universitas Islam Indonesia (UII) atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Kampus Pascasarjana UII, Senin (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Islam Indonesia (UII) secara resmi mengajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. UII yakin hakim-hakim MK adalah negarawan.

Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII, Eko Riyadi menilai, banyak aspek yang harus didiskusikan ulang terkait UU KPK. Karenanya, UII menempuh jalur konstitusional melalui judicial review.

Baca Juga

Ia menilai, lewat cara itu akan terjadi perdebatan hukum yang sangat ilmiah. Karenanya, pengajuan ini murni dilakukan UII sebagai wujud kecintaan terhadap bangsa dan negara.

"Ini jihad untuk kepentingan anak bangsa ke depan karena korupsi jadi faktor yang sangat mengerikan dan menghabiskan kapasitas negara dalam memenuhi hak-hak warga negara," kata Eko, Senin (11/11).

Eko berpendapat, hakim-hakim MK merupakan negarawan yang tentu saja harus dihormati. Ia mengaku menaruh harapan besar sikap MK bisa selaras dengan apa yang UII cita-citakan bagi masa depan bangsa.

Untuk itu, ia berharap, hakim-hakim MK dapat bersikap profesional dengan menaruh kepentingan negara di atas kepentingan-kepentingan apapun.

"Kami berharap hakim MK berada pada posisi langit, menggunakan kaca mata langit, mengadili dan memutus perkara yang kita ajukan dengan kepentingan negara dan bangsa Indonesia," ujar Eko, menegaskan.

Kuasa Hukum UII, Anang Zubaidy mengungkapkan, ini jadi pengajuan judicial review keempat yang diajukan ke MK atas UU KPK. Ia merasa, UU KPK memang memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil.

Secara formil, ia menegaskan, UU KPK jelas tidak mengikuti prosedur yang seharusnya dilalui. Undang-undang ini juga tidak diikuti naskah akademik yang hingga kini tidak ada di laman resmi DPR RI dan lain-lain.

"Bahkan, jika mengikuti persyaratan pimpinan KPK, pasti ada salah satu calon yang tidak bisa dilantik," kata Anang.

Sedangkan, secara materiil, banyak pasal-pasal UU KPK yang dirasa justru akan melemahkan KPK. Mulai dari independensinya, sampai kehadiran dewan pengawas yang akan ikut campur urusan pro justicia.

Selain itu, KPK akan dipertanyakan posisinya lantaran pegawai-pegawai akan dijadikan aparatur sipil negara (ASN). UII keberatan pula soal penghentian kasus  (SP3) yang cuma diberikan dua tahun.

"Kami tetap berharap adanya revisi kembali UU KPK yang substansinya memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Anang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement