REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan bahwa semangat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong perekonomian sangat tinggi. Namun, pihaknya tidak akan merevisi regulasi yang sudah ada secara cepat dan tergesa-gesa.
"Kami butuh waktu untuk memikirkan, membahas, dan merumuskannya secara matang. Tapi mudah-mudahan tidak akan lama," kata Edhy dalam siaran pers, Sabtu.
Edhy menyampaikan hal tersebut saat beraudiensi dengan Asosiasi Koral, Kerang, dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) di kantor KKP, Jakarta Pusat, 7 November 2019. Eddy menyebut, audiensi tersebut dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terbaik terkait aturan perdagangan koral atau karang hias.
KKP telah menghentikan penerbitan sertifikat kesehatan untuk ekspor karang hias berdasarkan regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan itu melarang orang secara langsung atau tidak langsung menambang karang hias yang menimbulkan kerusakan ekosistem serta mengambil karang hias di kawasan konservasi.
Aturan lainnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Edhy mengatakan, audiensi ini merupakan salah satu caranya untuk membangun komunikasi yang baik dengan stakeholder kelautan dan perikanan.
Pihaknya akan mendengar pandangan dari kedua belah pihak, termasuk yang menolak perdagangan karang hias. Ketua Umum AKKII Dirga Adhi Putra S dalam pemaparannya menyampaikan bahwa karang hias yang diperdagangkan berasal dari dua sumber, yaitu alam dan hasil budidaya.
Menurut Dirga, karang hias alam merupakan sumber daya terbarukan yang dapat dimanfaatkan. Ia berpendapat, pengambilan dengan prinsip lestari dapat membantu menjaga ekosistem. Dirga mengatakan, karang hias yang tumbuh terlalu padat dan tidak dipanen/dipangkas justru akan berhenti bertumbuh atau mati massal akibat terlalu padat.
"Karang hias alam ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi karena eksotika warna dan bentuknya," ungkapnya.
Menurut Dirga, kuota karang hias alam yang direkomendasikan oleh LIPI dan ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk 2019 adalah 565.050 potong. Ia menyebut, jumlah ini hanya 0,0001 persen dari populasi karang hias di Indonesia.
Dirga menjelaskan, karang hias hasil budidaya dikembangkan dengan teknik yang ramah lingkungan dan tidak membebani ekosistem. "Semua eksportir karang hias juga diwajibkan melakukan budidaya karang hias. Selain itu, 10 persen dari hasil produksi dikembalikan ke alam untuk rehabilitasi," jelasnya.
Ia menyebut, saat ini perdagangan karang hias sedang dalam masa transisi dari karang hias alam ke karang hias budidaya. Namun, tidak semua karang hias bisa dibudidayakan dengan mudah.
Dirga berpandangan, pengambilan karang hias dilakukan dengan cara ramah lingkungan karena karang hias yang diambil diperlukan dalam kondisi hidup dan tidak terluka sedikit pun agar dapat dijual. Sebagian besar pengambilan hanya dilakukan dengan tangan, dipungut atau ditangkap.
“Untuk itu kami meminta agar pemerintah mengharmonisasi peraturan dan regulasi terkait karang hias untuk memberikan kepastian berusaha bagi eksportir karang hias di Indonesia. Kami berharap pelayanan health certificate yang diberikan Badan Karantina Ikan dapat dikeluarkan kembali untuk karang hias dan anemone,” pintanya.
Terkait permintaan tersebut, Edhy menekankan, pihaknya tegas bahwa pengambilan kerang hias di daerah konservasi dan daerah wisata tidak diperbolehkan sama sekali. Selain itu, dulu berdasarkan aturannya pengambilan di luar dua kawasan tersebut juga hanya boleh di lakukan di daerah yang tutupannya di atas 50 persen.
Edhy menilai, perlu dicari solusi agar konservasi alam dan pemenuhan kebutuhan orang-orang yang menggantungkan hidup dari perdagangan karang hidup ini bisa diselaraskan. Untuk itu, ia menanyakan komitmen pedagang karang hidup terhadap kelestarian lingkungan melalui pemenuhan permintaan pasar dengan kegiatan budidaya.
Selain itu, Edhy berpendapat, jika perdagangan karang hias diizinkan kembali, pengawasan untuk memastikan bahwa karang hias tidak diambil di daerah konservasi juga merupakan pekerjaan rumah besar. Termasuk pengawasan budidaya karang hias yang mungkin dapat digunakan sebagai modus berbuat curang.
"Saya harus mendengarkan masukan dari berbagai sisi. Bisa jadi ada kelompok yang tidak setuju perdagangan karang hias diizinkan, bisa jadi ada yang merasa dirugikan. Kami harus hati-hati. Persoalan karang hidup ini menjadi fokus saya dan akan segera saya selesaikan," jelasnya.