Rabu 06 Nov 2019 00:34 WIB

Beri Kesempatan untuk Mas Menteri Nadiem

Kurang bijak jika terlalu dini menilai link and match Menteri Nadiem

Tamsil Linrung
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Tamsil Linrung

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Tamsil Linrung, Pendiri Sekolah Insan Cendekia Madani dan Senator DPD RI.

Nadiem Makarim menuai sorotan. Menteri termuda di jajaran kabinet Jokowi-Ma’ruf itu menjadi pusat pemberitaan. Kemampuannya memimpin Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi diragukan.

Nadiem memang bukan orang pendidikan. Nadiem datang dari dunia yang lain. Latar belakangnya adalah bisnis berbasis teknologi. Dunia masa kini.

Sukses menggawangi usaha rintisan GoJek hingga meraih status decacorn, tak lantas membuat Nadiem dapat meyakinkan semua pihak bahwa ia mampu memimpin Kemendikbud Dikti. Kementerian yang diplot sebagai ujung tombak kabinet Jokowi-Ma’ruf yang mengusung semangat SDM Unggul.

Sorotan makin tajam setelah menteri milenial yang minta disapa “Mas” ini mengungkapkan selaksa pemikiran tentang konsep “link and match” dunia pendidikan. Mas Menteri, mengamini harapan Presiden Jokowi agar output pendidikan Indonesia melahirkan sumber daya manusia unggul.

SDM unggul, dalam terminologi pemerintah adalah berhati Indonesia dan berideologi Pancasila. SDM yang siap bersaing di era industri 4.0. Bahasa ringkas dan teknisnya, institusi pendidikan diharapkan melahirkan lulusan-lulusan yang dibutuhkan oleh industri. Yaitu siap kerja dan mampu berkiprah di era teknologi. SDM yang andal dalam persoalan kompetensi.

Tak butuh waktu lama, pemikiran link and match dihujani kritik. Gagasan tersebut dipandang melenceng dari tujuan pendidikan Indonesia. Dituding jauh dari nilai-nilai dasar dan filosofi pendidikan yang jadi salah satu tujuan bernegara. Konsep tersebut bahkan dicap sangat industrialistis.

Di sinilah pangkal masalahnya. Kurang bijak rasanya terlalu dini menilai dan menghakimi konsep link and match keluar dari jalur spirit pendidikan Indonesia. Apalagi ini masih minggu-minggu pertama. Mas Menteri masih dalam proses adaptasi. Link and match hendaknya dipahami (dan diadopsi) sebagai bahasa teknis saja.

Link and match bukan kerangka filosofis. Bila kita cermati UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, jaraknya sangat jauh. Visi pendidikan dalam UU itu sarat dengan muatan ideologis, filosofis dan transenden.

Secara literal mengamanatkan kepada pemerintah agar mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada titik ini, esensi ditekankan pada aspek kemanusiaan yang melampaui ukuran-ukuran materil.

Tujuan tersebut sangat imajinatif. Bahkan diamini oleh Forum Ekonomi Dunia. Dalam rilis Future of Jobs Report (2018), lembaga yang bermarkas di Jenewa, Swiss ini memprediksi bahwa kompetensi yang berbasis pada manusia (human centric) bakal jadi trend di masa depan. Misalnya kemampuan deep thinking, analytical thinking, active learning and learning strategies, emotional intelligence hingga kemampuan social influence.

Rilis WEF itu menegaskan bahwa era robotik dan kecerdasan berbasis komputer tetap membutuhkan peran utama umat manusia. Manusia pusat gravitasi peradaban. Artinya, konsep pendidikan mesti mengarusutamakan kemanusiaan.

Sementara, kerangka teknis kebutuhan pendidikan masa kini tentu saja bersifat provan. Sesuai kebutuhan zaman. Poin fleksibilitas itu sudah ditegaskan dalam UU. Bahkan jelas tertulis bahwa peningkatan mutu pendidikan harus mengacu pada relevansi dengan tuntutan perubahan kehidupan. Dalam skala lokal, nasional, dan global. Sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Dengan demikian, harus diakui bahwa memang tak ada konsepsi baku yang mengatur kurikulum untuk jangka panjang. Kurikulum yang merupakan manifestasi dari sistem pendidikan bahkan harus bersifat lentur. Dapat berubah. Maka wajar bila muncul istilah ganti pemerintah ganti kurikulum. Bisa jadi nanti muncul usulan kurikulum baru. Kurikulum link and match.

Perubahan kurikulum yang sangat dinamis tersebut memang menimbulkan preseden. Bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak cukup mapan. Tak bisa diandalkan. Yang paling kentara dari kritik pergantian kurikulum tak berujung tersebut, para peserta didik harus menghadapi gap pembelajaran.

Yang diterima di bangku sekolah, sering tidak match dengan apa yang mereka harus pelajari di perguruan tinggi. Para sarjana, bahkan banyak yang gagap menerapkan ilmu pengetahuan meski bertahun-tahun mereka pelajari di bangku kuliah. Suplai pengetahuan institusi sekolah hingga perguruan tinggi tidak match dengan kebutuhan dunia kerja. Sehingga muncul istilah pengangguran berpendidikan. Ini fakta.

Salman Khan (2013), pendiri Khan Academy yang dikagumi Bill Gates mengatakan bahwa gap di dunia pendidikan adalah fenomena global. Maka untuk mengikis kesenjangan tersebut, Salman Khan menginisiasi pemanfaatan teknologi dalam metode pembelajaran. Membuka akses pendidikan. Meruntuhkan sekat ruang dan waktu.

Bagi tokoh berpengaruh dunia versi majalah TIME ini, seseorang yang ingin belajar tidak bisa diatur kapan waktunya dan di mana tempatnya. Sebab setiap orang punya kecenderungan berbeda dalam menyerap pengetahuan. Baik dalam konteks waktu maupu ruang.

Teknologi, satu jalan dalam membangun konvergensi di dunia pendidikan. Celah yang dirisaukan Khan ini tampaknya mengilhami Presiden sehingga mendaulat milenial yang telah malang melintang di dunia teknologi untuk membenahi dunia pendidikan kita. Mengusung konsep link and match.

Sedikit berbagi pengalaman membangun institusi pendidikan yang berupaya menjembatani landasan filosofi dan tujuan pendidikan dalam konstitusi dengan realitas masa depan. Tahun 2010, saya menginisiasi pendirian sekolah Insan Cendekia Madani (ICM) di Serpong. Sekolah ini dirancang sebagai sekolah Islam berasrama. Memanfaatkan teknologi terkini dan terbaik dalam proses pembelajaran.

Siswa ICM datang dari berbagai penjuru Indonesia. Program-program pendidikan dirancang dinamis dan futuristis. Mengadopsi kurikulum internasional Cambridge. Termasuk program overseas. Ke Singapura, Inggris dan nyantri beberapa minggu di Pesantren Nur Inka Nusantara Madani, Amerika Serikat.

Pesantren yang dipimpin oleh Imam Shamsi Ali. Putra asli Indonesia yang lama berkiprah di kancah dunia. Kami termasuk pendiri dari pesantren pertama di AS ini. Tujuan program semacam ini jelas. Membuka cakrawala dan interaksi global para peserta didik. Agar mereka menatap masa depan dengan optimistis.

Meski belia, Insan Cendekia Madani mulai mengembangkan jaringan di beberapa daerah. Respons  masyarakat sangat luar biasa. Tren pertumbuhan siswa sangat positif. Hal itu menyuntikkan optimisme.

Mengintegrasikan filosofi pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dengan tren masa kini yang berbasis teknologi disambut luas. Penghargaan tersebut bahkan terlihat dari serapan alumni ICM di perguruan tinggi ternama. Di dalam dan luar negeri.

Karena itu, praksis konsep link and match sebetulnya sangat terukur. Tergantung bagaimana konsep tersebut bisa diterjemahkan oleh institusi pendidikan. Dalam skala negara, tanggungjawabnya ada di Kemendikbud Dikti.

Apalagi memang rumusan sistem pendidikan nasional tentu saja tak menegasi aspek-aspek kontemporer. Terbuka pada pembaruan-pembaruan menyesuaikan dengan tuntutan masa kini. Relevan dan kontekstual.

Pada poin inilah, sistem pendidikan harus bergerak dinamis agar tak  ketinggalan zaman. Sepanjang jati diri pendidikan tak keluar dari nilai-nilai dasar dan filosofi yang diamanatkan konstitusi.

Penugasan generasi milenial yang memahami dan bisa memfirasati masa depan, menemukan konteksnya. Gagasan link and match merupakan respons terhadap kebutuhan. Tuntutan perubahan bergerak cepat. Anak muda diharapkan berada di garda terdepan dalam mengarungi gelombang tersebut. Maka mari kita berikan kesempatan kepada Mas Menteri memulai kiprahnya.

Sebagai masyarakat dan bagian dari unit pendidikan bernama keluarga, peran kita juga dibutuhkan. Termasuk membangun sinergi antar institusi pendidikan. Sekolah negeri maupun swasta.

Kami di Insan Cendekia Madani sangat terbuka jadi rujukan. Bahkan mengundang Mas Menteri untuk melihat langsung. Bagaimana kiprah sekolah ini. ICM dibangun untuk generasi berikutnya, dengan tetap berpijak kuat pada filosofi pendidikan yang diamanatkan konstitusi. Mungkin ada peran dan sinergi yang bisa kita rancang bersama untuk memajukan pendidikan Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement