Senin 04 Nov 2019 12:11 WIB

Pemekaran Papua, Pemerintah Ditagih Desain Penataan Daerah

Strategi penataan daerah menjadi penting menyusul rencana memekarkan Papua.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menagih pemerintah pusat menerbitan penataan daerah. Strategi penataan daerah menjadi penting menyusul rencana memekarkan Papua menjadi dua provinsi tambahan.

Ia mengatakan, kebijakan pemekaran saat ini mengacu pada Undang-Undang (UU) 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU itu menjabarkan pembentukan daerah berupa pemekaran dan penggabungan daerah.

Baca Juga

Selain itu, UU itu mengamanatkan agar pemerintah pusat menyusun strategi penataan daerah untuk melaksanakan penataan daerah.  Strategi tersebut dituangkan dalam desain besar penataan daerah yang memuat perkiraan jumlah pemekaran daerah pada periode tertentu.

"Desain besar penataan daerah itu isinya nanti kita prioritasnya mau pemekaran di wilayah mana, mungkin juga bahkan menyinggung berapa proyeksi ideal dari daerah pemekaran kita di suatu waktu," ujar Robert saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/11).

Desain besar penataan daerah dijadikan acuan dalam pemekaran daerah baru yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Robert melanjutkan, sebelum melakukan pemekaran, pemerintah perlu menyusun dua Peraturan Pemerintah (PP) mengenai desain besar penataan daerah dan pembentukan daerah sesuai amanat UU.

"Selagi dua PP itu belum dibuat, belum disahkan, belum boleh pemekaran dibuka, itu perintah Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," tutur Robert.

Kemudian, lanjut dia, yang harus dilakukan pemerintah sekarang dalam rangka memperhatikan kesejahteraan Papua adalah mengevaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Otsus Papua). Termasuk evaluasi implementasi otonomi daerah selama 20 tahun ini sejak 1999.

Robert menuturkan, dalam UU Otsus Papua berisi pasal mengenai dana otsus yang disebutkan akan berakhir pada 2021. Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi atas kajian yang mendalam apakah dana otsus akan dihentikan, dihentikan bertahap, dilanjutkan, atau dilanjutkan dengan penyesuaian.

Menurut dia, selama ini tidak ada evaluasi UU Otsus Papua secara komprehensif. Bukan hanya evaluasi secara parsial terhadap dana otsusnya saja, melainkan juga evaluasi secara keseluruhan di segala bidang atas keberlangsungan suatu daerah termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.

Robert melanjutkan, hasil evaluasi itulah kemungkinan terdapat rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan, salah satunya di Papua. Jika memang ditemukan kendala bahwa Papua merupakan daerah yang sangat luas dengan segala persoalannya perlu dilakukan pemekaran.

"Adapun pemekaran bagian dari hasil evaluasi ternyata masalah yang sangat kompleks dan butuh negara hadir baru boleh itu. Jadi jangan lompat-lompat, jangan serampangan, itu nggak benar kebijakannya seperti itu," lanjut Robert.

Ia menambahkan, tak tahu cara apa yang akan dilakukan pemerintah yang bersikukuh melakukan pemekaran Papua. Sebab, pemekaran daerah harus berlandaskan UU 23/2014 tentang yang mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah, yang saat ini belum diterbitkan.

"Ya enggak tahu saya pemerintah mau bagaimana itu, bahkan pemerintah mau gimana. Ini cara manusia sejatinya ya harus ada peraturan pasti pembentukan setiap daerah itu dasarnya," kata Robert.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement