Senin 04 Nov 2019 05:04 WIB

Ada Unjuk Rasa Sedunia, Indonesia Tetap Begini Saja

Unjuk rasa di Indonesia tak membawa perubahan signifikan.

Nur Aini
Foto: dok. Republika
Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Warga dunia memimpikan perubahan dengan unjuk rasa yang membuat 2019 adalah tahun protes. Unjuk rasa terjadi di berbagai negara dari Timur Tengah, Amerika Selatan, Asia, hingga Afrika. Tak terkecuali di Indonesia, saat ribuan mahasiswa memprotes revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang KPK. Sebagian unjuk rasa berhasil mengusung demokrasi dan perubahan di negaranya. Sedangkan, sebagian lainnya menambah daftar panjang korban kekerasan negara tanpa hasil nyata, jika tak mau dibilang nyawa hilang sia-sia.

Unjuk rasa yang baru saja terjadi di Lebanon mampu menggulirkan reformasi pemerintahan. Demonstrasi yang semula memprotes kenaikan pajak, termasuk mengutip biaya panggilan WhatsApp meluas menjadi seruan kritik atas buruknya kondisi ekonomi dan layanan publik. Masifnya unjuk rasa membuat Perdana Menteri Saad Hariri mundur, sebelumnya diawali oleh empat menterinya yang mengundurkan diri.

Demonstrasi di Irak pada Oktober juga menyuarakan kondisi buruknya ekonomi negara dengan angka kemiskinan tinggi. Negara yang dikoyak perang itu menghadapi masalah korupsi yang merajalela. Mereka yang protes menuntut perubahan sistem dalam pemerintahan. Perdana Menteri Adel Abdul-Mahdi pun mengumumkan reshuffle kabinet untuk meredam gejolak demonstrasi di negaranya.

Perombakan kabinet juga dilakukan Presiden Cile Sebastian Pinera setelah unjuk rasa meluas dan disertai kerusuhan di ibu kota. Unjuk rasa itu dipicu kenaikan tarif transportasi publik, yang kemudian menjadi gerakan memprotes ketimpangan ekonomi. Sekitar 1 juta orang turun ke jalan di ibu kota Santiago yang menjadikannya protes terbesar sejak negara itu kembali ke demokrasi pada 1990, setelah jatuhnya diktator Augusto Pinochet.

Protes hingga kini masih berlangsung di Hong Kong yang semula dipicu penolakan revisi undang-undang ekstradisi, tetapi kemudian meluas menjadi mempertahankan demokrasi. Unjuk rasa yang digulirkan anak muda itu membuat pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam mencabut rencana undang-undang yang memungkinkan pelaku kriminal diekstradisi ke China. Lam juga menawarkan paket reformasi ekonomi yang menjanjikan penyediaan lahan dan perumahan. Tetapi, demonstrasi tetap berlanjut untuk menuntut Lam mundur dan pengusutan atas kasus kekerasan aparat pada massa aksi.

Sementara, di Indonesia, demonstrasi pada September-Oktober lalu dipicu penolakan atas RKUHP dan undang-undang KPK. Dalam demonstrasi itu, data YLBHI, mencatat 51 korban jiwa dengan 44 orang meninggal secara misterius. Dengan jumlah korban tersebut, RKUHP hanya ditunda, sementara UU KPK jalan terus. Desakan kepada presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah penggantu undang-undang atau Perppu KPK tak jelas hasilnya. Dengan perasaan duka mendalam, kita tetap menghadapi kenyataan sudah jatuh korban, tapi Indonesia tetap begini saja.

Berbagai unjuk rasa di dunia, meski dipicu alasan yang berbeda, sebenarnya menuntut hal yang sama yaitu perubahan atas kondisi negara seperti kemiskinan dan ketimpangan, serta penolakan terhadap kesewenang-wenangan termasuk oligarki dan korupsi. Akan tetapi, saat unjuk rasa di negara lain mampu membawa perubahan, mengapa dampak demonstrasi di Indonesia begini saja?

Penelusuran akademisi yang dimuat Washington Post terhadap unjuk rasa dalam 100 tahun di 150 negara, siapa yang mengusung demonstrasi ternyata menentukan keberhasilan aksi protes dalam menggulirkan demokrasi. Temuan itu mengkonfirmasi bahwa kaum terpelajar dari kelas menengah berpendidikan yang dianggap sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi ternyata tidak selalu dapat diharapkan dalam menggerakkan demokrasi. Unjuk rasa yang lebih berhasil membawa demokrasi justru diusung oleh buruh pabrik, yang selama ini dianggap kelas pekerja berpendidikan rendah, kalau demo dicela bikin macet, dan menyusahkan orang mau kerja di gedung-gedung pencakar langit. Laporan itu menyoroti demokratisasi mampu digulirkan oleh gerakan demonstrasi yang didominasi oleh kelas menengah perkotaan, dan lebih sukses saat buruh pabrik ikut aksi protes. Para buruh pabrik menggunakan serikat, menggandeng jaringan buruh internasional, dan pihak yang mengusung sosial demokrasi untuk membawa kekuatan besar yang dapat menantang rezim menindas.  (Tautan link: https://www.washingtonpost.com/politics/2019/10/24/we-checked-years-protests-countries-heres-what-we-learned-about-working-class-democracy/)

Indonesia boleh punya sejarah demonstrasi 1998 yang mampu menggulingkan kediktatoran Soeharto. Keberhasilan yang diglorifikasi para aktivis mahasiswa yang kini kalau tidak jadi pejabat, mungkin jadi penjahat atau keduanya. Tapi, saat keberhasilan itu tidak bisa diulang karena sekarang kita menghadapi koruptor,  maka taktik lama untuk membawa perubahan itu bisa dianggap usang. Mahasiswa adalah agen perubahan sudah lama kita dengar hingga demonstrasi melawan pelanggaran oleh pemerintah yang valid hanya kalau itu mereka. Jika demonstrasi berasal dari selain mahasiswa, maka itu dianggap ditunggangi. Mereka yang tidak memakai jaket almamater atau bukan mahasiswa dianggap provokator, penyusup, dan perusuh.

Jika selama demonstrasi kita bersama mahasiswa, maka kita yang menginginkan reformasi tidak dikorupsi, juga bergandengan tangan dengan serikat buruh. Bukankah, memang sejarah dunia membuktikan buruh bersatu tak bisa dikalahkan. Barangkali itu juga yang membuat demonstrasi buruh kerap diadang aparat, dianggap bikin macet, dan yang lebih suram dianggap kurang bersyukur hanya karena protes minta naik gaji.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement