REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi meminta pemerintah meninjau ulang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Diketahui, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Menurutnya, kebijakan itu akan semakin menyusahkan bagi rakyat dan membebani APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kenaikan BPJS Mandiri juga dinilainya akan membuat masyarakat kecil harus mengurangi pengeluaran beli makanan bergizi yang seharusnya berperan dalam pencegahan penyakit.
"Kenaikan PBI, juga akan membebani Pemerintah Daerah, karena tak semua PBI ditanggung APBN," ujar Kahfi lewat keterangan resmi, Kamis (31/10).
Dalam perpres tersebut, kenaikan paling signifikan terjadi pada jenis kepesertaan mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 naik dua kali lipat dari semula Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu.
Sementara iuran peserta kelas 3, naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. Sementara Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan dinaikkan subsidinya dari 23 ribu menjadi 42 ribu.
Kahfi berpendapat, seharusnya Kabinet Indonesia Maju diberikan waktu untuk bekerja terlebih dahulu. Sebab, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dinilainya sedang mencari jalan keluar terkait polemik BPJS.
Langkah awal Menkes, dengan menyumbangkan gaji dan tunjangan pertamanya sebagai menteri untuk menutupi defisit BPJS. “Mungkin sumbangan dr. Terawan tidak berarti jika dibandingkan dengan besaran defisit BPJS, tapi saya melihat, beliau mengajak kita berpikir, mesti ada jalan lain, yang tak harus mengorbankan rakyat kecil,” ujar Kahfi.
Selain itu, Kahfi menilai bahwa masyarakat saat ini memandang, iuran yang mereka bayarkan setiap bulan harus mereka rasakan manfaatnya secara langsung. Jika tidak, uang BPJS yang mereka bayarkan dianggap hangus percuma.
"Cara pandang inilah yang mesti kita ubah bersama-sama,” pungkasnya.
Di sisi lain, cara pandang petugas kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), juga lebih berorientasi kuratif (pengobatan). Ketimbang bersifat preventif atau promotif. "Jumlah pasien yang tinggi, dianggap sebagai indikator berkualitasnya layanan kesehatan. Padahal, hemat saya, jika semakin tinggi masyarakat yang datang berobat, artinya puskesmas tidak menjalankan peran-peran preventif dan promotif. Harusnya dinilai sebagai kegagalan, bukan keberhasilan," ujar Kahfi.
Jika fasyankes hanya menjalankan peran administratif, maka hal itu merupakan salah satu sumber kebocoran pembiayaan BPJS. “Mesti ada monitoring dan evaluasi secara ketat dan reguler, bagi semua fasyankes mitra BPJS,” jelasnya.