REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Tim Kajian Papua LIPI Cahyo Pamungkas mengkhawatirkan pemekaran di Papua tidak memproteksi hak-hak orang asli Papua. Menurutnya, pemekaran harus dilakukan dalam kerangka Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan melindungi orang asli Papua
"Jangan sampai pemekaran itu menjadi menambah persoalan baru dan melemahkan UU Otsus," ujar Cahyo saat dihubungi Republika, Rabu (30/10).
Sebab, lanjut dia, UU Otsus Papua mengatur bahwa pemekaran harus mendapat persetunyan dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Prosedur pemekaran di Papua harus melalui usulan Pemerintah Provinsi atau Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) serta atas persetujuan MRP.
Sehingga, proses pemekaran berasal dari bawah. Bukan sebaliknya pemekaran yang datang dari pemerintah pusat. Jika demikian, maka dapat menegasikan UU Otsus itu sendiri.
Cahyo mengatakan, salah jika bupati langsung meminta kepada presiden untuk dilakukan pemekaran tanpa mengusulkannya kepada gubernur, DPRP, dan mengabaikan persetujuan MRP. Bisa saja pemekaran dilakukan atas inisiatif pemerintah pusat dan DPR, akan tetapi melemahkan UU Otsus Papua yang berlaku.
"Tidak bisa pemekaran itu datang dari atas kalaupun bisa yang dari inisiatif pemerintah pusat itu akan melemahkan UU Otsus itu sendiri dan akan dianggap tidak memghargai kekhususan otsus pemerintah Papua," kata dia
Ia mengkhawatirkan jika ada pemekaran di Papua, warga dari luar Tanah Papua akan memanfaatkan pengisian birokrasi pemerintahan baru dan sektor ekonomi dari wilayah hasil pemekaran. Sehingga, kemungkinan orang asli Papua tak menerima manfaat dari pemekaran itu.
Cahyo juga mengatakan, belum mengetahui ada pernyataan MRP yang menyetujui adanya pemekaran. Termasuk provinsi baru Papua Selatan yang disebut sudah akan disiapkan.
"Belum pernah ada statement MRP memberikan persetujuan untuk pemekaran provinsi Papua Selatan," tutur Cahyo.
Sehingga, ia menilai tidak melihat motivasi untuk meningkatkan pelayanan publik dalam pemekaran di Papua. Justru yang terlihat besar adalah motivasi politik dalam pemekaran ini.
Sebelumnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak pembentukan dua provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan, penambahan dua wilayah tingkat satu yang baru di Papua, bukan solusi dari persoalan yang dialami rakyat Papua selama ini. Alih-alih menyetujui, Timo mengatakan wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal antara sesama rakyat yang wilayahnya akan dimekarkan.
“MRP sebagai (lembaga) aspirasi kultural sangat menyesal kalau ini (wacana pemekaran) dipaksakan. Karena hanya akan memakan korban rakyat Papua sendiri. Rakyat Papua yang akan menjadi tumbal. MRP akan menolak. Saat ini, kami dalam posisi menolak,” kata Bapa Timo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Selasa (29/10). Menurut Timo, meski belum resmi diputuskan, wacana pemerintah pusat membentuk dua provinsi baru di wilayah paling timur di Indonesia tersebut, cacat prosedural ketatanegaraan.