REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, baru akan membahas persoalan terkait kementeriannya pekan depan. Pekan ini ia masih dalam proses pengumpulan bahan-bahan masalah, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK), untuk kemudian dilakukan pembahasan.
"Kita belum koordinasi dengan departemen teknis, saya dalam seminggu menargetkan mengenal profil dan anatomi Kemenko Polhukam dulu," ujar Mahfud di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (25/10).
Sejauh ini, Mahfud menjelaskan, ia telah mengundang semua pejabat eselon I untuk pemaparan masalah-masalah apa yang ada di setiap kedeputian di bawah Kemenko Polhukam. Ia juga telah banyak berdiskusi dengan Sekretaris Menko Polhukam. Mahfud mengaku sudah mulai melakukan pengidentifikasian masalah, tapi belum secara rinci.
"Belum masuk ke agenda-agenda yang sifatnya spesifik. Seperti pelanggaran HAM, penegakkan hukum, deredakalisasi, dan sebagainya. Itu masih masuk ke dalam proses pembahanan, bukan pembahasan. Sekarang saya masih proses pembahasan, bukan atau belum pembahasan," tuturnya.
Mahfud menerangkan, proses pembahasan baru akan dilakukan pekan depan dengan melihat juga agenda di istana. Pembahasan dilakukan saat rapat antara dia dengan menteri-menteri serta lembaga-lembaga yang terkait setiap persoalan yang ada.
"Kalau tidak hari Selasa, Rabu. Tergantung di istana ada agenda atau tidak," jelas dia.
Sebelumnya, mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas menyatakan, Perppu KPK harus segera bisa diputuskan oleh Presiden setelah Joko Widodo (Jokowi) mengundang sejumlah tokoh ke istana untuk dimintai masukan. Usai mengundang tokoh ke Istana beberapa waktu lalu, Jokowi menyatakan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK.
"Sampai hari ini tidak ada respons dari Presiden. Padahal masukan dari sejumlah tokoh dan aktivis terkemuka kan sudah jelas," katanya usai menghadiri Sidang Senat Terbuka Hari Jadi ke-61 UMS di Solo, Kamis (24/10).
Meski demikian, dikatakannya, sesuai dengan peraturan seluruh keputusan dikembalikan kepada Presiden. Ia menilai sebetulnya langkah tersebut tidak efektif.
"Menurut hemat saya, kalau menyerahkan semua kepada Presiden itu apakah bisa, karena sebetulnya kekuatan ada pada masyarakat sipil berbasis pada kampus. Jadi kalau kemarin kampus melakukan satu reaksi (unjuk rasa mahasiswa, red) yang itu murni keterpanggilan terhadap demokratisasi, itu menjadi kekuatan untuk bisa melakukan perubahan," katanya.