Kamis 24 Oct 2019 16:54 WIB

CIFOR: Pemerintah tak Contohkan Cara Buka Lahan tanpa Bakar

CIFOR dorong pemerintah permudah akses kredit bagi pembuka lahan tanpa dibakar.

Petugas BPBD Kota Pekanbaru memadamkan api yang membakar lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Ahad (6/10/2019) malam.
Foto: Antara/Rony Muharrman
Petugas BPBD Kota Pekanbaru memadamkan api yang membakar lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Ahad (6/10/2019) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) mengungkapkan hasil riset lapangan di Provinsi Riau. Menurut lembaga tersebut, masyarakat di akar rumput yang berprofesi sebagai petani membutuhkan contoh nyata agar meninggalkan kebiasaan membuka lahan gambut dengan membakar yang kerap menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan bencana asap.

"Selama ini pemerintah larang masyarakat membakar, tapi nggak ada contoh di lapangan. Ini yang unik dari penelitian ini," kata Ketua Tim Peneliti CIFOR, Prof Dr Herry Purnomo, di Pekanbaru, Kamis.

Baca Juga

Herry mengatakan, selama satu setengah tahun CIFOR bersama peneliti Universitas Riau melakukan penelitian untuk mencari model pencegahan kebakaran dan restorasi gambut berbasis masyarakat. Lokasi penelitian di Desa Dompas, Kabupaten Bengkalis.

Bersama masyarakat, mereka membuka lahan pertanian nanas dengan cara tebas, tapi tidak dibakar. Herry mengakui, hingga kini belum ada hasil penelitian yang bisa menekan biaya produksi dari segi materi dan waktu untuk membuka lahan gambut dengan cara tanpa membakar agar lebih ramah lingkungan.

Penelitian CIFOR di Desa Dompas dilakukan tanpa menggunakan alat berat untuk membuka lahan, sehingga butuh waktu lebih lama. Menurut Herry, dalam satu setengah tahun masyarakat mulai memahami bahwa tidak membakar itu mungkin, walau ongkosnya lebih tinggi.

"Mengapa bakar? Karena bakar itu murah. Kami sampaikan cara tidak membakar untuk satu hektare butuh Rp 5,5 juta," katanya.

Jumlah itu bisa lima kali lipat lebih mahal dibandingkan untuk membuka lahan dengan membakar (slash and burn). Meski begitu, Herry mengatakan bahwa biaya yang lebih besar itu sebenarnya bisa dikompensasi kepada warga asalkan metode pengolahan pertanian dilakukan secara optimal.

"Murah dan mahal itu kan tergantung kompensasi. Kalau melakukan pertanian dengan baik walau pengolahan lebih mahal, itu lebih terjamin dan tidak perlu takut warga jadi kriminal," ujarnya.

Herry mengatakan, penerapan hasil penelitian tersebut tentu butuh proses yang harus didukung oleh semua pihak terutama pemerintah pusat dan daerah. Penegak hukum juga harus tegas melarang pembukaan lahan dengan membakar dan menindak tegas pelakunya.

Di sisi lain, Herry menyerukan pemerintah untuk mendorong perusahaan lembaga keuangan untuk mempermudah akses kredit bagi warga yang akan membuka lahan tanpa membakar.

"Jangan sampai yang cara bagus seperti ini kalah dengan para kriminal yang membakar lahan karena lebih mudah dan murah," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement