Kamis 24 Oct 2019 09:17 WIB

Mahasiswa Cerita Pengalaman Aksi di Bincang Sore Republika

Mahasiswa UGM menceritakan pengalamannya mengikuti aksi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Bincang Sore Republika yang mengangkat tema Implikasi Pergerakan  Mahasiswa dalam Pembangunan Kenegaraan yang digelar di Kantor Republika  Yogyakarta, Rabu (23/10).
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Bincang Sore Republika yang mengangkat tema Implikasi Pergerakan Mahasiswa dalam Pembangunan Kenegaraan yang digelar di Kantor Republika Yogyakarta, Rabu (23/10).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pergerakan mahasiswa belakangan menjadi perhatian utama masyarakat. Republika melalui acara Bincang Sore berdiskusi mengangkat tema Implikasi Pergerakan Mahasiswa dalam Pembangunan Kenegaraan.

Terbuka untuk umum, Bincang Sore dimoderatori mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Hilyatul Asfia. Hadir dua narasumber. Ada Menteri Media dan BEM KM Universitas Gadjah Mada, Gilang Ramadhan, dan Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham) UII, Sahid Hadi.

Baca Juga

Pada kesempatan itu, Gilang sempat mambagikan pengalaman menarik mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti aksi unjuk rasa. Dia menceritakan aksi baik yang dilangsungkan di Yogyakarta maupun yang berangkat ke Jakarta.

Salah satunya soal penyadapan yang ternyata sempat dialami mahasiswa sebelum maupun setelah unjuk rasa. Tapi, ia menekankan, kondisi itu tidak menurunkan semangat mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta.

"Itu ponsel teman-teman yang ke Jakarta sempat tidak bisa dihubungi, Whatsapp tiba-tiba log out, bahkan Instagram Fatur (Ketua BEM UM) sempat diretas," kata Gilang di Kantor Republika Yogyakarta, Rabu (23/10).

Kemudian, soal ricuh. Ia menekankan, sebagian besar massa mahasiswa dalam aksi-aksi biasanya sudah membubarkan diri sekitar pukul 20.00-21.00, tapi setelah itu ada massa-massa tidak dikenal.

Gilang berpendapat, mereka itu yang melakukan perusakan-perusakan, yang akhirnya berdampak pula aksi represif dari Polisi. Bahkan, mengejar mahasiswa sampai ke gang-gang kecil atau tempat ibadah.

"Kita bersyukur masyarakat banyak yang menolong, tapi teman-teman UGM, UIN dan lain-lain itu banyak yang terluka," ujar Gilang.

Selain itu, usai aksi di Istana Negara, misal, banyak beredar pesan-pesan yang menyebutkan BEM KM UGM setuju revisi UU KPK dan UU-UU lain. Hal serupa dialami BEM-BEM lain seperti Universitas Indonesia.

Meski begitu, ia menyayangkan, selama aksi-aksi selama ini mereka kurang memperhatikan isu-isu yang beredar di media sosial. Salah satu dampaknya tidak lain media sosial dikendalikan hoaks-hoaks buzzer.

Terkait aksi-aksi itu, Sahid mengingatkan pentingnya memperhatikan waktu pelaksanaan aksi. Ia menekankan, aksi-aksi demonstrasi memang harus dilaksanakan berulang kali jika memang ingin merubah keadaan.

Sayangnya, ia melihat, banyak aksi-aksi belakangan tidak memberikan dampak besar. Sahid berpendapat, itu penting diperhatikan lantaran peran oposisi justru seharusnya dimainkan mahasiswa.

"Hari ini masyarakat masih banyak yang berpikir untuk apa demo-demo, justru ini momentum menyadarkan masyarakat kalau demo itu ada dampak, aksi unjuk rasa itu ada efeknya," kata Sahid.

Ia mengingatkan, mahasiswa-mahasiswa itu sendiri penting memahami betul nilai-nilai dari pergerakan mahasiswa. Meski begitu, Sahid melihat pergerakan-pergerakan mahasiswa belakangan cukup bagus.

Bagi Sahid, pergerakan-pergerakan itu seakan mengingatkan kalau manusia utuh mulai bermunculan kembali. Tapi, hal lain yang menarik Sahid terjadinya kekeliruan pemahaman soal aksi-aksi unjuk rasa.

"Melakukan aksi unjuk rasa tidak perlu izin, kebebasan berpendapat di muka umum cukup pemberitahuan saja, sepanjang aksi-aksi itu tertib tidak masalah," ujar Sahid.

Untuk itu, ia menambahkan, sangat penting bagi mahasiswa-mahasiswa memiliki pemahaman soal nilai-nilai dari pergerakan mahasiswa. Sebab, pemahaman itu yang akan menjadi modal semangat pergerakan mahasiswa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement