REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo akan mengeluarkan Surat Keputusan Pengangkatan Pelaksana Tugas untuk menggantikan Kepala Daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK). Hal itu dilakukan agar tidak terjadi kekosongan jabatan sehingga roda pemerintahan di daerah tetap berjalan dengan baik dan maksimal.
"Yang ditahan Kepala Daerah, karena mencukupi bukti dari OTT KPK, ya kami keluarkan SK Wakil Kepala Daerahnya," ujar Tjahjo di Jakarta, Rabu.
Ia meminta agar Pemerintah Provinsi yang terkait dengan Kepala Daerah yang terkena OTT KPK itu untuk aktif menunjuk siapa pengganti sementara Kepala Daerah tersebut. Seperti, Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk kasus OTT Bupati Indramayu serta Pemerintah Provinsi Sumatra Utara untuk kasus OTT Wali Kota Medan.
Adapun Kepala Daerah yang terjerat OTT KPK tidak akan bertugas dulu sampai dengan keluarnya keputusan yang bersifat tetap dari pengadilan. Tjahjo meyakini kalau KPK tidak mungkin melakukan OTT tanpa bukti yang cukup. Namun, ia berharap KPK tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah sampai ada keputusan final melalui peradilan yang ada.
Sesuai pemaparan Ketua KPK, Agus Rahardjo, Tjahjo mengatakan kalau OTT KPK itu pasti didukung oleh data yang valid dari orang terdekat Kepala Daerah. "Laporan masyarakat khususnya yang terdekat dengan Kepala Daerah, itulah yang menjadi bukti valid adanya OTT KPK," kata Tjahjo.
Hal itu seperti yang diungkapkan Ketua KPK saat menjadi pembicara dalam rapat dengan sejumlah pejabat strategis tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, inspektorat daerah, dan biro keuangan daerah. Tjahjo menyesali adanya kejadian OTT berulang kali menimpa Kepala Daerah. Hingga kini ia mencatat ada 119 orang Kepala Daerah terjerat OTT selama lima tahun pemerintahannya di Kementerian Dalam Negeri.
"119 kepala daerah, itu belum termasuk Kepala Dinas dan teman anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," kata Tjahjo.
Bersama KPK, Tjahjo sudah berulang kali mengingatkan Kepala Daerah agar berhati-hati pada area rawan korupsi. Terutama pada perancangan anggaran, dana hibah dan bantuan sosial, pembelian barang dan jasa, retribusi pajak, serta jual beli jabatan. "Sudah sejak awal pertama, sudah saya bicarakan, hati-hati," ujar Tjahjo.