REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM menyampaikan hasil kajian mahasiswa terhadap rencana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke menuju daerah Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota tersebut menurut mereka harus memperhatikan aspek pembangunan manusia, ketersediaan pangan dan pengelolaan kota melalui sistem informasi yang terintegrasi.
“Ibu kota baru ini diharapkan tidak menciptakan kisah Jakarta kedua dengan kompleksitas permasalahaannya,” kata Adkha Bukhori, mahasiswa magister ketahanan nasional SPs UGM, saat menyampaikan hasil kajian dalam seminar nasional yang bertajuk rencana Perpindahan Ibukota dan Langkah Cerdas dalam Menanggapinya, di ruang seminar Gedung SPs UGM, Rabu (16/10), dalam siaran pers.
Menurut Bukhori, bila Jakarta tidak pernah lepas dari bencana banjir, begitupun dengan daerah lokasi ibukota yang baru di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertangera yang kerap dilanda banjir dan kebakaran hutan dan lahan. “Dalam kurun dua puluh tahun terakhir paling sering terjadi banjir dan bencana kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Meski tidak lepas dari risiko bencana, namun menurutnya pembangunan ibu kota negara lebih menitikberatkan pada pembangunan manusianya. Sebab pembangunan kawasan ibu kota baru nantinya akan berdampak pada penduduk lokal baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya. “Pemerintah haru mampu melakukan pendekatan secara serius dan masif apalagi dengan infrastruktur dan teknologi yang digunakan mampu meminimalisir konflik bagi ibukota baru,” katanya.
HMP UGM mengusulkan, untuk mendukung kebutuhan pangan bagi kawasan ibu kota negara yang baru sebaiknya pemerintah menggunakan model pertanian dengan hidroponik vertikultur terintegrasi, penggunaan IoT, AI dan big data atau sistem informasi tertintegrasi, kota hutan dengan RTH yang terintegrasi, transportasi publik, smart water management, smart water management.
Direktur perkotaan, perumahan dan pemukiman, Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti mengatakan selain ketimpangan jumlah penduduk antara Jawa dan luar Jawa serta kesenjangan ekonomi menjadi salah satu petimbangan pemindahan ibu kota negara. “Diperkirakan tahun 2045, sekita 95 persen akan menjadi kota urban sedangkan di pulau jawa jadi lumbung pangan,” katanya.
Penentuan lokasi ibu kota negara ke Kaltim karena dianggap strategis berada di tengah wilayah indonesia dan bebas risiko bencana gempa bumi, gunung berapi, dan tsunami.
Soal konsep desain ibu kota yang baru, kata Tri Dewi, dalam waktu dekat pemerintah tengah membuat kajian master plan, desain tata ruang dan tata kota seperti apa kota yang akan dibangun. “Membangun ibu kota memang bisa 5-10 tahun selesai, namun pada akhirnya akan benar-benar rampung dalam waktu 20-40 tahun,” katanya.