REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menegaskan pemberian sanksi kepada tujuh prajurit TNI dan istri tidak terkait dengan radikalisme. Ia menegaskan sanksi murni berkomentar negatif terhadap penusukan Menko Polhukam Wiranto.
"Dari awal saya tidak pernah menyebut atau membicarakan radikalisme, tindakan kami murni karena mereka ternyata tidak bisa menjaga bagaimana mereka bersosial media sehingga terjadilah penyalahgunaan," kata Andika di Mabes AD, Jakarta Pusat, Selasa (15/10).
Penyalahgunaan di media sosial itu terkait dengan percobaan pembunuhan terhadap Wiranto saat kunjungan kerja di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10). "Peristiwa yang membahayakan nyawa seseorang tidak boleh dianggap main-main. Maka, kami sudah cukup menilai bahwa mereka harus berhenti," kata Andika.
Penekanan itu, kata dia, bukan karena yang mengalami percobaan pembunuhan adalah Wiranto, melainkan lebih pada kemanusiaan. "Tidak usah kita ngomong pejabat atau bukan pejabat, enggak usah, ini menyangkut nilai kemanusiaan, seseorang yang hampir kehilangan nyawa kemudian dipermainkan, itu saja," tuturnya.
Andika mengatakan TNI AD telah memberikan sanksi kepada tujuh prajurit TNI Angkatan Darat terkait dengan unggahan di media sosial soal insiden penusukan Menkopolhukam Wiranto. "Sampai dengan hari ini TNI Angkatan Darat sudah memberikan sanksi kepada tujuh prajurit. Dua anggota, rekan-rekan media sudah mendengar semua pada hari Jumat kemarin, kemudian tambahan lima sudah kami putuskan dan sedang diproses," kata Andika.
Andika menyebutkan dari enam anggota yang mendapat sanksi disebabkan anggota keluarganya yang mengunggah sindiran terkait dengan insiden penusukan Wiranto. Seorang lainnya adalah anggota TNI itu sendiri yang menyalahgunakan media sosial.
Karena itu, hukuman disiplin yang diterima seorang anggota TNI itu berbeda. "Kami jatuhi hukuman disiplin militer satu orang adalah berupa penahanan ringan maksimal 12 hari. Akan tetapi, kepada satu orang karena yang bersangkutan sendiri yang menyalahgunakan media sosial, kita jatuh tetap hukuman disiplin militer tetapi penahanan berat maksimal 21 hari," jelas Andika.
Terkait dengan identitas tujuh anggota TNI itu, Andika menyebut sejumlah komando resor militer (korem) dan komando distrik militer (kodim). Jabatannya pun beragam mulai dari prajurit kepala, kopral, hingga sersan.
"Jadi, yang di Korem Padang adalah prajurit kepala itu tamtama, kemudian yang di Kodim Wonosobo itu kopral dua tamtama juga, kemudian yang di Korem Palangkaraya itu sersan dua bintara, Kodim Banyumas ada sersan dua, dan di Kodim Muko-Muko di Jambi itu adalah kapten," jelas jenderal bintang empat ini.
Mantan Pangkostrad ini mengatakan bahwa pihaknya tidak memecat para anggota TNI, hanya mencopot dari jabatan yang semula dipegang dan memberikan hukuman sebagai bentuk penerapan disiplin dan pembinaan. "Hukuman yang diberikan pun termasuk hukuman ringan," kata Andika.
Sebelumnya, Kolonel HS dan Sersan Dua J menerima hukuman disiplin militer, yakni dicopot dari jabatannya. Hukuman itu dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Keduanya dijatuhi hukuman lantaran masing-masing istrinya, yakni IPDN dan LZ, diduga melanggar UU ITE. Mereka berkomentar dan melontarkan sindiran terkait dengan kejadian penusukan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang.
Selain HS dan LZ, seorang bintara di Detasemen Kavaleri Berkuda Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD, Sersan Dua J, dihukum 14 hari penahanan fisik akibat komentar istrinya, L, di media sosial yang juga menyindir insiden penusukan tersebut.