REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengungkapkan kondisi kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia mengalami kemunduran. Elsam memprediksi hal ini akan menjadi penyebab terancamnya kebebasan berekspresi secara digital selama lima tahun ke depan.
Peneliti Elsam, Lintang Setianti, mengatakan ada ancaman kebebasan berekspresi di era digital atau kebebasan berekspresi di dunia maya. "Yang pertama kalau pertanyaannya proyeksi ke depan, saya tidak mau bilang suram tapi akan melelahkan, akan sangat melelahkan seperti beberapa bulan terakhir ini. Di mana kita lelah melihat berita-berita penangkapan, kriminalisasi yang sangat banyak, " ujar Lintang dalam diskusi bertajuk 'Proyeksi Masyarakat Sipil Atas Situasi Indonesia Lima Tahun ke Depan Bidang Demokrasi' di Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (15/10).
Lintang lantas menjelaskan penyebab prediksi ini. Pertama, meski Indonesia berhasil menggelar pemilu serentak dengan partisipasi masyarakat tinggi, tetapi kondisi seperti ini tidak sejalan dengan kebebasan berekspresi.
Sebab, berdasarkan pemantauan dari lembaga pemantau kebebasan berpendapat yakni Freedom House, indeks kebebasan berpendapat Indonesia menurun dari status Free menjadi Partly Free. Data ini dicatat sejak 2014 lalu.
"Artinya, ada kemunduran terhadap demokrasi dari sisi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," tegas Lintang.
Dia melanjutkan, salah satu kondisi yang mendorong penurunan indeks kebebasan itu adalah maraknya penggunaan pasal-pasal karet. Faktor lain, yakni aparat penegak hukum yang tidak mampu memahami atau menangkap informasi yang diungkapkan oleh masyarakat.
Lintang lalu mencontohkan pasal-pasal bermasalah yang paling sering digunakan yakni pasal pencemaran nama baik dan kesusilaan di UU ITE. Kemudian pasal pasal pemidanaan KUHP seperti pasal makar, pasal penodaan agama, TAP MPRS soal larangan komunisme.
"Pasal-pasal inilah yang sering digunakan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah, " tutur Lintang.
Lebih lanjut, Lintang melanjutkan, sikap pemerintah dalam menghadapi disinformasi atau berita hoaks pun lebih cenderung kepada bentuk kriminalisasi. "Contohnya, kriminalisasi terhadap satu orang yang mengunggah suatu informasi. Padahal ada juga kontribusi ribuan orang dalam postingan itu, tapi mengapa hanya satu orang yang dipidana?," tambahnya.