REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah masih perlu bekerja keras dalam menangani problem kekeringan di wilayahnya, yang selalu berulang sepanjang musim kemarau berlangsung. Khususnya dalam mencari solusi untuk menemukan atau membuat sumber-sumber air permanen yang bisa dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga yang terdampak.
“Kendati begitu, solusi ini harus diupayakan agar ini tidak menjadi persoalan menahun bagi daerah setempat,” kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah, Hadi Santoso, di Semarang.
Menurut Hadi, pada musim kemarau tahun ini, dampak kekeringan telah dirasakan tak kurang dari dua juta jiwa warga, yang tersebar di sejumlah daerah yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Secara rinci, data sampai dengan akhir September 2019, setidaknya ada 1.259 desa yang ada di 360 kecamatan serta 22 kabupaten/kota di Jawa Tengah, telah mengalami kekeringan dan krisis air bersih.
Adapun warga yang terdampak kekeringan ini tersebar di 22 kabupaten/kota, dengan jumlah mencapai 545.581 kepala keluarga (KK), yang dalam jumlah jiwa yang mencapai 2,056 Juta orang.
“Problem utama yang terjadi akibat dampak musim kemarau ini, sumur-sumur dan sumber-sumber air yang jamak dimanfaatkan oleh warga mengering dan kualitas airnya juga menurun,” ungkapnya.
Tak terkecuali di kawasan kars yang juga masih luput dari perhatian. Di lain pihak, sejumlah waduk (besar maupun kecil) dan embung yang ada, juga terus mengalami penurunan volume air baku.
Data yang dihimpun Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, masih jelas Hadi, sampai dengan 30 september 2019, tercatat ada tujuh waduk yang kehilangan fungsinya setelah waduk tersebut tak terisi air (kosong).
Masing-masing meliputi Waduk Tempuran (Kabupaten Blora), Waduk Simo (Kabupaten Grobogan), Waduk Parangjoho, Waduk Ngancar dan Waduk Kedunguling (Kabupaten Wonogiri), serta Waduk Kembangan dan Waduk Botok (Kabupaten Sragen).
Sementara itu, 16 waduk yang lain kemampuan tampungan airnya juga dalam kondisi di bawah rencana atau kurang dari 85 persen dari rasio ketersediaan air bersih berdasarkan volume rencana. Ke-16 waduk yang di bawah rencana terdiri ini terdiri dari empat waduk besar (Waduk Malahayu, Wonogiri, Sempor, dan Sudirman) serta 12 di antaranya merupakan waduk kecil.
Antara lain Waduk Gembong dan Waduk Gunungrowo (Kabupaten Pati) , Waduk Greneng (Kabupaten Blora), Waduk Butak Pakis (Kabupaten Grobogan), Waduk Krisak (Kabupaten Wonogiri), Waduk Delingan (Kabupaten Karanganyar), dan Waduk Brambang (Kabupaten Sragen).
Data tersebut, masih jelas politisi PKS Jawa Tengah ini, hanya 18 waduk besar maupun waduk kecil waduk yang tampungan airnya bisa sesuai dengan rencana. “Jika mengacu data ini, waduk yang volume airnya mencukupi kurang dari separuh dari waduk yang ada di Jawa Tengah ini,” tegasnya.
Ia menambahkan, musim kemarau di Jawa Tengah yang (secara umum) diprediksi bakal berakhir pada penghujung Oktober ini, membuat dampak kekeringan di daerah ini masih bisa bertambah luas. Hal ini dikhawatirkan kondisi air tanah yang ada di Jawa Tengah juga akan semakin menipis. “Maka solusi jangka panjang harus serius dilakukan oleh Pemprov Jawa Tengah guna mengatasi problem kekeringan tersebut,” tegas Hadi.
Menurutnya, penyelesaian kekeringan di Jawa Tengah ini bisa di atasi dengan keterlibatan semua pihak melalui pengangkatan sumber air, menarik air dari sumber terdekat, juga membuat embung dan waduk tambahan guna menampung air bersih.
Sehingga permasalahan krisis air bersih yang ada di Jawa Tengah bisa teratasi. “Tentu ini butuh keseriusan Pemprov Jawa Tengah dalam mengupayakan antisipasi jangka panjang dalam menghadapi musim kemarau,” kata Hadi.
Masih terkait dengan langkah-langkah antisipasi bencana kekeringan, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Semarang, Heru Subroto, menuturkan di luar penambahan infrastruktur waduk dan pencarian sumber mata air baru, penting kiranya ada edukasi kepada masyarakat untuk menangkap air hujan.
Namun untuk menyiapkan infrastruktur seperti penampungan air juga butuh sinergi antar lembaga atau instansi yang berwenang di pemerintahan. “Prinsipnya pada saat musim hujan air yang langsung masuk ke dalam tanah sebagian juga harus ditampung agar bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau berlangsung,” ungkap Heru.