REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bambang Noroyono
Tiga pekan setelah kerusuhan 23 September, Wamena masih jauh dari kata status aman. Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya tersebut masih ditetapkan sebagai zona siaga-1.
Sebanyak 1.400 personel gabungan TNI dan Polri masih disiagakan untuk memberikan jaminan kondusivitas. Jumlah warga yang kembali dari eksodus sejak 23 September juga masih minim.
“Siaga-1 itu memang artinya kita masih standby. Pasukan gabungan digelar di titik-titik kerawanan, dan di pintu masuk keluar dari dan ke Wamena,” kata Dandim Letkol Inf Chandra Diyanto saat ditemui Republika di Markas Kodim 1702/Jayawijaya, Wamena, Sabtu (12/10). Ia menerangkan, kondisi wilayah berangsur normal meskipun situasi keamanan belum pulih benar.
Upaya aparat memulihkan keamanan dilakukan dengan pendekatan yang komunikatif. Chandra mengatakan, sistem patroli ikut dilibatkan dalam berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat.
“Patroli yang kita lakukan, untuk meyakinkan bahwa situasi sudah aman,” ujar dia. Hanya, dia menerangkan, patroli yang dilakukan tak terjadwal. Artinya, dilakukan pada jam dan titik-titik tertentu secara acak. “Patroli sampai ke pelosok-pelosok."
Meskipun TNI-Polri sudah memberikan jaminan rasa aman, keyakinan masyarakat untuk kembali dari pengungsian masih minim. Aster Kodim Wamena Kapten Effendi menerangkan, sampai Sabtu (12/10) pagi, tercatat sudah sekitar 17.367 warga yang eksodus keluar Kota Wamena sejak kerusuhan.
Sedangkan, yang kembali sampai Sabtu (12/10), baru sekitar 336 orang. Jumlah pengungsi di Wamena pun masih banyak, sekitar 480 orang. “Itu ada di delapan pos-pos penampungan, termasuk yang di Kodim, Koramil, di Polres (Wamena), di beberapa gereja, dan masjid-masjid yang ada di Wamena,” ujar dia.
Namun, khusus para pengungsi di Kodim 1702 Jayawijaya, warga korban kerusuhan, sudah dilokalisasi ke beberapa rumah aparat. “Mungkin ada yang kenal karena satu suku, atau karena satu kampung halaman,” ujar Effendi. Jumlah korban meninggal dunia tidak bertambah, yaitu 33 orang. Sebanyak 31 di antaranya meninggal karena kekerasan, dan dua lainnya karena medis.
Dari data militer setempat menyatakan, delapan di antara korban adalah warga asli Papua, dan sisanya pendatang. Jumlah berbeda disampaikan Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Dominikus Surabut.
Menurut dia, hingga Jumat (11/10), korban meninggal mencapai 43 orang. Sebanyak 25 orang di antaranya pendatang, dan 15 lainnya warga asli Papua. “Tiga korban yang lainnya, belum bisa diidentifikasi apakah warga asli atau pendatang,” kata dia.