Jumat 11 Oct 2019 09:15 WIB

Kalau tak Ada Uangnya, Bagaimana Mau Bayar Iuran BPJS

Sanksi tak efektif tingkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran.

Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (13/9/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (13/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Para peserta BPJS Kesehatan di sejumlah daerah berharap pemerintah tak merealisasikan rencana penerapan sanksi bagi yang menunggak iuran. Sanksi berupa pembatasan terhadap akses layanan publik dinilai bakal merugikan masyarakat.

Warga Ungaran, Kabupaten Semarang, Agung Ranin (34 tahun), tak setuju apabila sanksi bagi penunggak iuran harus dikaitkan dengan sanksi administrasi di luar lingkup kepesertaan. “Misalnya, mau kredit, pengajuannya terganjal oleh tunggakan iuran BPJS Kesehatan, padahal semuanya juga merupakan kebutuhan,” kata Agung saat berbincang dengan Republika, Rabu (9/10) malam.

Ia mengakui, BPJS Kesehatan sangat bermanfaat dan membantu masyarakat yang menjadi peserta. Namun, sanksi pembatasan akses layanan publik dikhawatirkan membuat persoalan yang dihadapi peserta BPJS Kesehatan makin kompleks.

Semestinya, kata dia, pemerintah mencari skema lain dalam mengurangi defisit keuangan BPJS Kesehatan tanpa harus memaksakan penerapan sanksi-sanksi administrasi yang lain. “Karena keterlambatan atau tunggakan bukan tidak semuanya disebabkan oleh ketidakpatuhan. Bisa jadi situasi yang belum memungkinkan,” kata Agung.

Warga Semarang lainnya, Sulis (42), berharap hal serupa. Menurut dia, pemerintah harus bisa melihat apakah tunggakan iuran disebabkan kurang tertibnya peserta dalam membayar premi atau karena daya beli masyarakat yang sedang menurun. “Semuanya memang penting, tetapi apa yang bisa diperbuat jika memang kemampuan sedang terbatas,” kata dia.

Peserta BPJS mandiri asal Bandung, Tia, menilai penerapan sanksi tak akan efektif meningkatkan kepatuhan peserta dalam membayar iuran. Apalagi, iuran BPJS bakal dinaikkan pada tahun depan. Menurut dia, peserta mandiri yang penghasilannya pas-pasan telat membayar bukan karena tak disiplin, melainkan karena harus memenuhi kebutuhan lainnya.

"Kalau uangnya tidak ada, ya bagaimana mau membayar? Apalagi, nanti iuran akan naik. Warga bukannya enggak mau bayar, tapi mungkin uangnya pas-pasan," kata dia.

Legislator juga turut mendorong pemerintah tak merealisasikan penerapan sanksi. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut. "Kalau diancam dengan sanksi, saya khawatir tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman," kata Saleh, Kamis (10/10).

Menurut Saleh, daripada memberikan sanksi kepada penunggak iuran, BPJS Kesehatan sebaiknya diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran melalui jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Apalagi, BPJS Kesehatan sejak 2016 telah memiliki kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang siap membantu melaksanakan tugas tersebut. "Lebih baik persoalan tunggakan iuran diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," ujarnya.

Saleh menilai sanksi berupa pembatasan akses layanan publik seperti tak bisa mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK) tidak akan efektif meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran. Menurut Saleh, sanksi-sanksi tersebut tidak bersifat segera, tidak mengikat, serta hanya jangka pendek. Padahal, iuran BPJS Kesehatan perlu dibayar setiap bulan.

"Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir karena IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah tidak selalu dibutuhkan. Paspor, misalnya, hanya diperlukan ketika ada seseorang yang ingin ke luar negeri," katanya.

Pemerintah saat ini sedang menyusun instruksi presiden (inpres) untuk menjalankan aturan mengenai penjatuhan sanksi. Draf inpres dikabarkan sudah berada pada tahap akhir dan diharapkan segera rampung. Beberapa negara maju memang ada yang mengaitkan ketaatan membayar jaminan kesehatan nasionalnya dengan dokumen identitas lainnya. Kebijakan ini diklaim menuai hasil positif, warga kian taat membayar iuran.

Asisten Deputi Jaminan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Togap Simangunsong mengatakan, penyusunan dan pembahasan inpres melibatkan sekitar 28 kementerian/lembaga dan dikoordinasikan oleh Kemenko PMK. "Rapat dan pertemuan terus digelar untuk finalisasi dan sekarang sudah tahap akhir," kata Togap kepada Republika, Rabu (9/10).

Pihaknya berharap inpres bisa dirampungkan secepat mungkin. Sebab, kata dia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mensyaratkan kenaikan iuran JKN-KIS yang bakal diterapkan mulai tahun depan, dilakukan setelah rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilaksanakan.

Togap mengatakan, inpres yang akan mendorong lembaga ikut menertibkan peserta yang terlambat membayar iuran, khususnya peserta mandiri, merupakan salah satu upaya untuk memenuhi rekomendasi BPKP. Berdasarkan temuan BPKP, kata dia, peserta mandiri JKN-KIS yang aktif membayar iuran hanya 53,72 persen. Kendati demikian, ia tidak bisa memastikan waktu penerbitan inpres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement