REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Politikus PDIP Masinton Pasaribu, mengatakan diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi harus berdasar pertimbangan yuridis. Masinton menegaskan perppu tidak bisa lantas terbit berdasarkan kondisi yang dipaksakan genting.
Mantan anggota Komisi III DPR itu mengungkapkan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menjelaskan syarat penerbitan perppu. Hal Itu diatur dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menjelaskan tiga syarat dimana suatu keadaan bisa disebut sebagai kegentingan.
"Pertama, adanya kekosongan hukum. Kedua, kebutuhan yang mendesak," ujar Masinton kepada wartawan usai mengisi diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (8/10).
Ketiga, lanjut dia, kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedur lantaran dapat memakan waktu lama. "Jadi pertimbangan yuridis meskipun itu hak subjektifnya presiden. Bukan kegentingan yang digenting-gentingkan," tegas Masinton.
Sehingga, dia pun menilai perppu atas UU KPK hasil revisi tak perlu diterbitkan. Terlebih, UU KPK itu sendiri baru saja disahkan pada 17 September 2019 lalu itu belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presiden, kata Masinton, memiliki waktu selama 30 hari sejak revisi UY KPK itu disahkan oleh DPR RI untuk menandatanganinya. Meski demikian, hingga batas waktu 30 hari Jokowi belum menandatanganinya, UU KPK tersebut tetap sah.
"Belum nyampe 30 hari sudah ada yang mendesak desak Perppu. Ini apa? Wong belum diundangkan, belum dinomori, belum ada dalam berita negara, sudah minta Perppu, ngebet banget," tuturnya.