Selasa 08 Oct 2019 07:54 WIB

BPJS Kesehatan Jatim Menunggak Rp 2,5 Triliun

Iuran peserta tak cukup menutup fasilitas yang diberikan kepada rumah sakit.

Petugas BPJS Kesehatan menunjukan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) online miliknya di kantor Pelayanan BPJS Kesehatan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Petugas BPJS Kesehatan menunjukan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) online miliknya di kantor Pelayanan BPJS Kesehatan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Deputi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jawa Timur, Handaryo, mengatakan, pihaknya masih mempunyai tanggungan utang sebesar Rp 2,5 triliun. Tanggungan utang tersebut untuk dibayarkan ke 325 rumah sakit yang tersebar di seluruh Jatim.

“Tanggungan itu secara keseluruhan yang tersebar di RS di berbagai daerah di Jatim,” kata Handaryo saat dikonfirmasi, Senin (7/10).

Kendati demikian, Handaryo tidak bisa memerinci rumah sakit mana saja yang klaimnya belum dibayarkan BPJS Kesehatan. Handaryo meyakinkan bahwa utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit tersebut terus bergerak.

“Itu data bergerak. Ada rumah sakit yang sudah kita bayar. Ada juga yang masih dibayar secara bertahap,” ujar Handaryo.

Menurut Handaryo, ada beberapa faktor penyebab banyaknya utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Salah satunya karena iuran yang dibayarkan oleh peserta BPJS Kesehatan tidak mencukupi untuk menutup fasilitas yang diberikan kepada rumah sakit.

“Selain itu, juga ada masyarakat baru daftar BPJS saat sakit. Sementara, yang sudah terdaftar, aktif membayar iuran saat sakit saja, tapi kalau sudah sembuh mereka kembali tidak membayar iuran,” kata Handaryo.

Handaryo mengatakan, BPJS Kesehatan butuh dukungan pemerintah daerah untuk menangani utang tersebut. Pasalnya, jika sudah jatuh tempo dan tidak segera dilunasi, tanggungan utang dikhawatirkan membuat beberapa rumah sakit tidak memperpanjang perjanjian kerja sama (PKS) dengan BPJS Kesehatan.

“Tentu ini akan merugikan masyarakat. Semoga segera ada kucuran dana dari pemerintah pusat untuk melunasi tanggungan utang BPJS Kesehatan ke RS,” kata Handaryo.

photo
Warga melakukan pendaftaran BPJS Kesehatan di kantor Pelayanan BPJS Kesehatan. (ilustrasi)

Dinas Kesehatan Kota Surabaya memastikan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan puskesmas Kota Surabaya tidak akan terganggu selepas penonaktifan puluhan ribu kartu Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) penerima bantuan iuran (PBI) oleh pemerintah pusat. Selain itu, kata dia, Pemerintah Kota Surabaya juga telah menyiapkan aplikasi khusus yang mendata masyarakat berpenghasilan rendah agar nantinya bisa dimasukkan menjadi peserta JKN-KIS PBI.

“Pelayanan kesehatan bisa dilakukan dengan mengajukan kembali dan melampirkan surat keterangan tidak mampu atau SKTM. Tapi, kalau untuk yang mampu, silakan menggunakan BPJS Kesehatan secara mandiri,” kata Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febriana Rachmanita saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Surabaya.

Kepala Cabang BPJS Kesehatan Kota Surabaya, Herman, mengaku pihaknya telah menonaktifkan sebanyak 76 ribu jiwa peserta JKN-KIS PBI. “Data itu diambil dari Dinsos dan juga Dinkes Surabaya,” kata dia.

Menurut dia, dari total jumlah yang ada, 53 ribu jiwa merupakan penerima bantuan pemerintah pusat, sedangkan 23 ribu sisanya menerima bantuan lewat APBD Kota Surabaya. Meski begitu, dia mengakui BPJS Kesehatan memang kurang melakukan sosialisasi atau pemberitahuan langsung pada masyarakat penerima PBI. “Kami meminta masyarakat untuk bisa melakukan pengecekan secara fisik maupun daring,” ujar dia.

Penonaktifan kartu JKN-KIS PBI itu dilakukan sejak Agustus 2019. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) Republik Indonesia Nomor 8/HUK/2019 tentang Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu Tahun 2019. Menurut data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dikeluarkan Kemensos, masih banyak warga yang dianggap mampu tetapi masuk kategori tidak mampu.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek mengatakan, berdasarkan data BPJS Kesehatan, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan. Pasalnya, kata dia, penyakit kardiovaskular dan penyakit-penyakit berbiaya besar (katastropik) banyak diderita pasien peserta BPJS.

“Kalau saya melihat dari data BPJS kita cukup memprihatinkan karena penyakit kardiovaskular itu tertinggi. Jadi, ada namanya penyakit katastropik itu tertinggi, gagal ginjal, kanker, diabetes,” ujar Nila.

Menurut dia, penyakit-penyakit itu bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat. Jika hipertensi terdeteksi, jangan sampai berubah menjadi sakit jantung. Caranya dengan menerapkan pola makan sehat dan asupan gizi seimbang disertai sayuran maupun buah-buahan. n dadang kurnia/mimi kartika/antara ed: mas alamil huda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement