REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Insiden pemukulan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perdata yang melibatkan pengacara Desrizal, dipicu oleh akumulasi kekecewaan pengacara Tomy Winata kepada majelis hakim. Ia kecewa karena memutus perkara bertentangan dengan bukti-bukti autentik dalam persidangan.
Dalam keterangan pers rilis yang disampaikan kepada wartawan saat tim penasihat hukum Desrizal yang dipimpin Hamdan Zoelva, menggelar jumpa pers disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada 18 Juli 2019, saat majelis hakim Perkara No 223/2018 membacakan putusan yang menolak gugatan wan prestasi yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP).
Hamdan menyebut bahwa kasus utang piutang itu sendiri berawal ketika GWP berencana membangun Hotel Kuta Paradiso di Bali, dengan meminjam uang dari tujuh bank, yaitu PT Bank PDFCI sebesar 5 juta dolar Amerika Serikat, PT Bank Rama, PT Bank Dharmala, PT Bank Indonesian Investments International, PT Bank Finconesia, PT Bank Arta Niaga Kencana, dan PT Bank Multicor masing-masing sebesar 2 juta dolar AS. Pinjaman tersebut dituangkan dalam Akta Perjanjian Pemberian Kredit Nomor 8 tanggal 28 November 1995.
Ketika terjadi krisis moneter 1998, Bank Indonesia menyerahkan PT Bank PDFCI, PT Bank Rama, dan PT Bank Dharmala kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN kemudian mengambilalih piutang yang dimiliki ketiga bank tersebut terhadap GWP.
Keempat bank lainnya, yaitu PT Bank Indonesian Investments International, PT Bank Finconesia, PT Bank Arta Niaga Kencana, dan PT Bank Multicor dinyatakan sehat, sehingga hak tagihnya tidak beralih ke BPPN. Antara BPPN dengan keempat bank ini, kemudian membuat Kesepakatan Bersama yang mengatur pemberian wewenang dari bank-bank tersebut kepada BPPN, terbatas untuk mengurus penyelesaian piutang dengan cara melakukan penagihan. Meskipun BPPN telah menerbitkan surat peringatan dan surat paksa, PT GWP tidak pernah membayar hutangnya
BPPN mengalihkan piutang yang semula dimiliki oleh PT Bank PDFCI, PT Bank Rama, dan PT Bank Dharmala kepada PT Millenium Atlantic Securities (PT MAS). PT MAS kemudian mengalihkan ketiga piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited.
Pada perkembangannya, piutang dari keempat bank tersebut akhirnya dialihkan/ dijual hak tagihnya secara langsung kepada masing-masing: PT Bank Indonesian Investments International kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Dan Lelang Negara Jakarta IV, PT Bank Finconesia kepada Alfort Capital Limited, PT Bank Arta Niaga Kencana kepada Gaston Invesments Limited, dan PT Bank Multicor kepada Tomy Winata.
Anehnya, menurut Hamdan, kesepakatan bersama itu disimpulkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bukti bahwa seolah-olah keempat bank itu telah mengalihkan hak tagihnya kepada BPPN, kemudian BPPN mengalihkan seluruh piutang terhadap PT GWP kepada PT Millenium Atlantic Securities (PT MAS), sehingga gugatan wan prestasi yang dilayangkan Tomy Winata terhadap GWP ditolak. Padahal di dalam Kesepakatan Bersama itu, sama sekali tidak terdapat kata alih, pengalihan atau mengalihkan, jual atau menjual.
Namun, faktanya, di dalam putusan majelis hakim mengubah penagihan menjadi pengalihan, dan mengabaikan dua bukti penting berupa putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap yang merupakan Produk dari Pengadilan negeri Jakarta Pusat sendiri terkait permasalahan pemberian kredit berdasarkan Akta Perjanjian Pemberi Kredit No. 8 tanggal 28 November 1995, yaitu dimenangkannya gugatan PT. Bank Agris (d/h PT. Bank Finconesia), dan dinyatakannya GWP wan prestasi dan dihukum membayar kerugian materiil kepada PT Bank Agris sebesar 20,389,661.26 dolar Amerika Serikat, dan putusan gugatan Gaston Invesments Limited yang menyatakan bahwa GWP dan para penjamin hutangnya wan prestasi, dan menghukum untuk membayar hutang, berikut bunga, dan denda kepada Gaston Invesments Limited sebesar 20,389,661,26 dolar AS. Gaston Invesments Limited merupakan pemegang piutang yang berasal dari PT Bank Artha Niaga Kencana.
Jadi, dengan mendasarkan kepada Akta Perjanjian Pemberian Kredit tersebut ada dua gugatan yang telah dikabulkan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, sementara gugatan yang diajukan oleh Tomy Winata belakangan atas hal yang sama dengan dua putusan itu ditolak oleh pengadilan yang sama.
Bukti-bukti dalam persidangan inilah yang diabaikan dan tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang membuat Desrizal, SH merasa dizalimi, sehingga berujung pada insiden pemukulan.