Jumat 04 Oct 2019 08:38 WIB

LIPI: Perppu Dulu Sebelum Kabinet

Jokowi tak akan dimakzulkan dengan mengeluarkan perppu KPK.

Ratusan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Surabaya menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (24/9). Mereka menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Ratusan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Surabaya menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (24/9). Mereka menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menyarankan Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK sebelum membentuk kabinet baru. Hal itu berkaitan dengan posisi tawar Presiden terhadap partai politik dalam mendukung perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Syamsuddin menilai posisi tawar Presiden dalam penyelesaian polemik UU KPK akan lemah jika kabinet sudah ditetapkan. "Tetapi, tidak pula langsung terburu-buru, tunggu Undang-Undang KPK sudah punya nomor walaupun undang-undang tersebut belum atau tidak ditandatangani oleh Presiden," kata Syamsuddin di Jakarta, Kamis (3/10).

Perppu KPK didesak oleh berbagai pihak, termasuk demonstrasi mahasiswa, untuk mengganti UU KPK yang baru disahkan. Syamsuddin juga menyarankan agar Presiden tidak menandatangani UU KPK sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Hal ini bisa dilakukan meski sudah disetujui oleh pemerintah melalui menkumham dan menpan-RB.

Perppu, menurut dia, sangat diperlukan untuk mengembalikan kekuatan KPK dalam memberantas korupsi. Pasalnya, UU KPK hasil revisi itu, khususnya pada pasal yang menjadi pro-kontra, merupakan bentuk pelemahan lembaga antirasuah itu. Ia menebalkan pada poin pembentukan dewan pengawas dan kewenangannya mengeluarkan izin penyadapan saat penindakan kasus korupsi.

Poin itu, kata dia, menjadi tidak relevan ketika selama ini tidak ditemukan KPK melakukan pelanggaran dalam cara dan metode penyadapan. "Kita tidak bisa bayangkan apabila KPK makin lemah dan kewenangan untuk menindak itu tidak ada. Kita membutuhkan KPK dengan penindakan yang kuat selain pencegahan yang kuat pula," kata dia.

Opsi menerbitkan perppu KPK kembali menguat setelah Jokowi bertemu sejumlah tokoh pada Kamis pekan lalu. Sebelumnya, Jokowi tercatat dua kali menolak menerbitkan perppu tersebut. Tuntutan yang dilakukan mahasiswa, pelajar, dan pegiat antikorupsi menjadi pertimbangan mengapa perppu itu menjadi relevan. Namun, sepekan berselang, Jokowi belum juga mengumumkan penerbitan perppu KPK.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut, draf UU KPK yang baru dari DPR sudah diterima Istana. Namun, masih ada kesalahan penulisan atau typo dari draf tersebut. Istana pun mengembalikannya ke DPR untuk diperbaiki sehingga tak menimbulkan salah interpretasi. "Masih ada typo, yang itu kita minta klarifikasi. Jadi, mereka sudah proses mengirim, katanya sudah di Baleg," ujar Pratikno di Istana Presiden, kemarin. Namun, ia tak bisa menjelaskan kesalahan tersebut.

Pratikno juga meminta seluruh pihak menghindari spekulasi terkait penerbitan perppu dan menunggu pengumuman resmi dari Presiden. "Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau Presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu. Sekarang kan belum," ujar Pratikno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement