Kamis 03 Oct 2019 07:15 WIB

KY Dorong Perubahan Kewenangan Melalui Revisi UU

KY tak hanya ingin sekadar menjadi lembaga pemberi rekomendasi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Komisi Yudisial
Komisi Yudisial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) akan mendorong diadakannya perubahan kedua Undang-Undang (UU) KY. Mereka menginginkan, hasil pemeriksaan yang dikeluarkan KY dapat bersifat mengikat dan langsung dilaksanakan, bukan sekadar rekomendasi.

"Kalau rekomendasi atau usulan itu kan bisa diterima, bisa tidak diterima. Oleh karena itu kita bentuknya bukan usulan lagi, tapi bentuknya harus dilaksanakan. Kalau tidak terbukti misalnya, direhabkan itu di antaranya yang didorong," ujar Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus, di sela peluncuran buku Memperkuat KY Dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan di KY, Jakarta Pusat, Rabu (2/10).

Baca Juga

Jaja mengatakan, dalam diskusi yang dilakukan bersama DPR, mereka mengaku setuju saja dengan perubahan kewenangan KY itu. Menurut Jaja, berdirinya suatu lembaga harus memiliki nilai efektifitas. Efektif itu, kata dia, jika produk yang dihasilkan lembaga itu bisa ditindaklanjuti langsung.

"Makanya nanti kita akan perjuangkan. Kalau mendirikan lembaga tanpa ada efektifitas maksimal, maka penataan dalam kerangka mendorong peradilan yang bersih, akuntabel, itu membutuhkan satu energi besar sekali," tutur dia.

Selain revisi UU KY, KY juga mendorong pengesahan Rancangan UU (RUU) Jabatan Hakim. Sebenarnya, RUU Jabatan Hakim sudah dibahas di lembaga legislatif, yakni DPR RI. Tapi, pembahasan itu tidak tuntas hingga masa sidang terakhir berakhir.

"Secara teknis hukum, mereka tidak selesai pembahasan DIM (daftar invetaris masalah)-nya. Kedua, mungkin juga ada faktor di luar teknis hukum itu," kata Jaja.

Menurut dia, dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim terdapat beberapa perdebatan. Ia memberikan beberapa contoh, yakni terkait usia tetap hakim dan perlu tidaknya ada evaluasi terhadap KY setiap lima tahun sekali.

"Mungkin perdebatan-perdebatan itu nggak tuntas. Sehingga ada semacam DIM-DIM-nya tidak sampai sempat selesai dibahas. Keburu DPR memprioritaskan RKUHP kemudian UU KPK," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement