REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mahkamah Konstitusi (MK), meminta semua pihak menghargai proses uji materi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi. Menurut MK, pernyataan yang mendahului putusan uji materi tersebut sebaiknya tidak perlu disampaikan.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengatakan sebagai analisis dan prediksi, pernyataan soal kemungkinan uji materi UU KPK ditolak sebenarnya tidak dilarang.
"Tetapi mestinya, perlu ajakan kepada kita semua untuk menghormati dan mengikuti prosesnya, tunggu saja MK bekerja. Jadi, sebaiknya tidak diperlukan statement-statement yang mendahului putusan MK," ujar Fajar saat dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (2/10).
Dia melanjutkan, saat ini belum ada pihak lain yang mengajukan permohonan uji materi atas UU KPK hasil revisi. Sehingga, MK masih memproses satu permohonan uji materi, yakni yang diajukan oleh mahasiswa dan sejumlah pihak beberapa waktu lalu.
Pada Senin (30/9), MK telah menggelar sidang pendahuluan uji materi yang diajukan oleh mereka. Saat itu, majelis hakim MK meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan karena belum memiliki objek yang jelas.
MK memberikan tenggat waktu selama 14 hari kerja sejak Senin agar pemohon melengkapi berkas permohonan mereka. Kemudian, kata Fajar, sidang selanjutnya tergantung kepada kapan pemohon menyerahkan perbaikan permohonan. "Bisa saja MK mengagendakan sidang walau belum 14 hari kerja," ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Mahfud MD menjelaskan tiga opsi yang masih dimiliki untuk memutuskan nasib UU KPK hasil revisi. Hal ini dia sampaikan saat acara Indonesia Lawyers Club pada Selasa (1/10).
Ketiga cara itu adalah judicial review atau uji materi di MK, lalu legislatif review di DPR RI dan menerbitkan Peraturan pengganti Undang-undang (Perppu). Namun Mahfud pesimistis opsi judicial review UU KPK akan dikabulkan oleh MK.
Sebab menurut pengalamannya, MK pasti akan menyerahkan kembali hal tersebut ke DPR. “Karena UU ini prosedural, jadi akan dikembalikan lagi ke DPR karena itu hak politiknya DPR,” ujad Mahfud. Sehingga saat ini ada dua opsi yang dapat dilakukan yakni legislatif review di DPR RI dan Perppu yang dikeluarkan Jokowi.