Senin 30 Sep 2019 16:37 WIB

Kronologi Pemicu Konflik Wamena dan Dugaan Peran Benny Wenda

Komnas HAM hari ini membeberkan kronologi kerusuhan yang pecah di Wamena, Papua.

Prajurit TNI melakukan patroli keamanan di Wamena, Papua, Senin (30/9/2019).
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Prajurit TNI melakukan patroli keamanan di Wamena, Papua, Senin (30/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rizkyan Adiyudha, Mimi Kartika, Ronggo Astungkoro, Dessy Suciati Saputri

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membeberkan kronologi kerusuhan yang pecah di Wamena, Papua beberapa waktu lalu. Menurut Komnas HAM, kejadian bermula saat guru pengganti bernama Riris Panggabean meminta salah satu muridnya membaca dengan keras.

Baca Juga

"Sebetulnya menurut Riris, dia tidak pernah bilang kata 'kera', dia bilang murid baca dengan keras karena murid ini tidak membaca dengan jelas, itu pada hari Selasa (17/9)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Senin (30/9).

Dia melanjutkan, hingga Jumat (20/9) semua berjalan dengan normal. Baru pada Sabtu (21/9), dia mengatakan, ada ribut-ribut di mana murid marah-marah karena disebut guru sebagai kera.

Kejadian tersebut pun langsung diklarifikasi dan semua pihak sudah saling memaafkan bahkan sudah nernyanyi bersama menyusul ada salah satu murid yang berulang tahun. Menurut Damanik, Riris tidak menyadari akan ada konflik lanjutan dari peristiwa tersebut.

Damanik meneruskan, selanjutnya, Ahad (22/9), ada penyerangan ke sekolah. Dan pada Senin (23/9), sudah ada pengerusakan di sekolah hingga kepala sekolah melarang Riris datang ke tempat dia mengajar.

Tak lama berselang, Damanik melanjutkan, datang segerombolan siswa yang marah-marah disertai gerombolan lainnya. Dia mengatakan, berdasarkan keterangan warga sekitar, mereka juga tidak mengenali gerombolan massa lainnya yang ikut datang ke sekolah tersebut.

"Ini yang ahrus diinvestigasi adanya massa lainnya yang demo. Massa itu nggak jelas karena banyak massa yang bilang nggak jelas dengan massa yang datang berdemo," katanya.

Damanik mengungkapkan, kronologi tersebut didapatkan dari kepala perwakilan Komnas HAM di Papua, Prince. Melihat hal itu, dia berpendapat jika kerusuhan yang terjadi di Wamena dilakukan secara sistematis oleh massa yang kemudian berujung pada kekerasan.

Komnas HAM mencatat jika korban tewas akibat peristiwa itu mencapai 31 orang. Angka itu belum ditambah 43 korban luka yang butuh penanganan segera di rumah sakit. Mereka mengalami cedera serius mulai dari gegar otak, patah kaki, dan lain-lain.

Komnas HAM mendorong pengungkapan kerusuhan di Wamena, Jayawijaya, Provinsi Papua, hingga tuntas. Menurut Damanik, sangat penting untuk diungkap dari siapa pelaku hingga motifnya untuk menghindari peristiwa yang berulang.

"Ini tidak bisa kita biarkan, yang bisa kita kategorikan tragedi kemanusiaan, dan kalau tidak dilakukan proses penegakan hukum kita sangat khawatir akan terulang peristiwa yang sama," ujar Taufan.

Sebab, kata dia, ketegangan tak hanya terjadi di Wamena melainkan hampir di seluruh wilayah Papua. Akibat kerusuhan orang-orang yang ada di Papua menjadi saling tidak percaya, dihinggapi rasa kekhawatiran dan ketakutan, bahkan hidup dalam suasana yang tidak nyaman.

Ia mengimbau seluruh pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh adat Papua, tokoh agama, untuk melakukan dialog konstruktif dalam rangka mencari langkah-langkah perdamaian. Bagi Komnas HAM, dialog merupakan solusi terbaik, jika tidak segera diselesaikan bisa memicu tragedi yang lebih besar.

"Tentu saja bisa memicu ketegangan lebih luas di berbagai tempat termausk di Jakarta, termasuk juga respon internasional kepada kita sebagai bangsa," jelas Taufan.

Dugaan keterlibatan Benny Wenda

Pemerintah mengendus keterlibatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, dalam kerusuhan yang terjadi di Wamena, Jayawijaya, Papua. Mereka disebut sengaja membangun kerusuhan agar dunia luar mendukung kemerdekaan Papua dan Papua Barat.

"Dari hasil kajian ini semua suatu gerakan yang dimotori oleh dua kekuatan. Pertama dari kekuatan OPM yang sejak dulu ada dan belum habis, walaupun kecil jumlahnya," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (30/9).

Menurut Wiranto, OPM bergabung dengan kekuatan Benny Wenda yang berada di luar negeri menjelang sidang Konferensi Tingkat Tinggi Hak Asasi Manusia (KTT HAM) di Swiss dan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Itu dilakukan sebagai upaya menunjukkan eksistensi mereka.

"Jadi OPM dan Benny Wenda berusaha membangun suatu kerusuhan dan ekspose ke dunia luar ada kekuatan untuk memerdekakan Papua dan Papua Barat. Konspirasi inilah yang dihadapi kita semua," katanya.

Namun, kata Wiranto, upaya yang dilakukan mereka gagal. Mereka tidak mendapatkan perhatian khusus di KTT HAM dan di kegiatan PBB. Wiranto mengatakan, tak ada negara khusus yang mendengarkan aspirasi mereka.

"Di PBB juga selesai, dan tidak ada negara khusus mendengarkan aspirasi yang bertentangan dengan Resolusi (Majelis Umum PBB) 2524 yang diputuskan di tahun 1969," kata dia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kericuhan yang terjadi di Wamena, Papua bukan merupakan konflik antaretnis. Ia juga menegaskan, aparat keamanan telah bekerja keras memberikan perlindungan dan keamanan terhadap warga.

"Perlu saya sampaikan aparat keamanan telah bekerja keras untuk melindungi semua warga. Jadi, jangan ada yang menggeser-geser menjadi seperti sebuah konflik etnis, itu bukan," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement