Jumat 27 Sep 2019 17:12 WIB

Setelah Trump dan Xi Jinping Bersepakat

Trump dan Xi Jinping bernegosiasi usai tensi perang dagang AS dan China memanas

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di Great Hall of the People di Beijing, Cina, Kamis (9/11).
Foto: AP Photo/Andrew Harnik
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di Great Hall of the People di Beijing, Cina, Kamis (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley, founder IndoSterling Group

Anda pernah mendengar Osaka? Yes, Anda benar. Osaka merupakan salah satu kota di Negeri Sakura, Jepang.

Sebelum dikenal dengan nama Osaka, kota itu dulu bernama Naniwa. Menurut catatan sejarah, Naniwa telah menjadi pintu gerbang perdagangan internasional sejak abad ke-5 masehi. Apalagi tatkala perdagangan antara China dan Semenanjung Korea mencapai puncak.

Entah kebetulan atau tidak, pada pekan lalu, KTT G20 digelar di Osaka. Perhelatan yang turut dihadiri Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) itu digelar di saat tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sedang memanas.

Namun, hawa sejuk Osaka sukses menghadirkan kesepakatan saat Presiden AS Donald Trump dan Presiden Xi Jinping bernegosiasi. Mengutip pemberitaan di BBC, Sabtu, 29 Juni 2019, dua negara adidaya itu berkomitmen untuk melanjutkan lagi perundingan perdagangan. "Kami mendiskusikan banyak hal dan kami berada di jalur yang tepat. Kita lihat apa yang akan terjadi nanti," ucap Trump.

Lantas, bagaimana memaknai kesepakatan Trump dan Xi serta dampak terhadap perekonomian Indonesia?

Pertumbuhan ekonomi

Perang dagang antara AS dan China yang berlangsung sejak tahun lalu telah memicu kekhawatiran dunia. Maklum, aksi saling balas pengenaan bea masuk atas produk masing-masing negara telah berbuntut ke mana-mana. Salah satu dampak paling nyata adalah penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

Dalam rilis terbaru, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia hanya tumbuh 2,6 persen pada tahun ini. Sedangkan tahun depan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi 2,7 persen. Perubahan proyeksi itu juga berimbas ke Tanah Air. Bank Dunia meramal ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,1 persen atau lebih rendah dari prediksi sebelumnya 5,2 persen.

Perang dagang juga telah berimbas kepada kebijakan moneter bank sentral di berbagai negara. Satu per satu, bank sentral menurunkan suku bunga acuan dengan harapan mengerek pertumbuhan ekonomi masing-masing. Namun, ada pula bank sentral yang masih bertahan alias belum mengubah suku bunga acuan, misalnya Bank Indonesia (BI).

Patut dicatat. Gencatan senjata AS-China belum berarti apa-apa. Sebab, negosiasi masih akan dilakukan ke depan. Sebagaimana perundingan-perundingan yang lalu, kedua negara masih saling berkukuh atas keinginan masing-masing. Walaupun, ada angin sejuk dari KTT G20 di Osaka, Jepang, seperti langkah Trump mencabut sanksi atas Huawei atau diperbolehkannya China membeli produk pertanian AS.

Terlepas dari dinamika global, pemerintah dan para pemangku kepentingan harus mempersiapkan diri. Utamanya dalam mengantisipasi perlambatan ekonomi global. Sebab, target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2019 tidak main-main, yaitu 5,4 persen.

Apabila target itu tidak tercapai, maka ada potensi tingkat kemiskinan maupun tingkat pengangguran meningkat. Muara dari itu semua adalah peningkatan kriminalitas di masyarakat yang dapat berujung kepada iklim investasi yang terganggu. Sesuatu yang tidak diinginkan semua kalangan, bukan?

Pada triwulan I 2019, BPS mencatat ekonomi RI tumbuh 5,07 persen. Sedangkan untuk triwulan II, BPS baru akan mengumumkan pada awal Agustus 2019. Namun, melihat tren tahunan dalam bulan suci Ramadhan maupun Hari Raya Idul Fitri, maka pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019 diperkirakan bisa tumbuh 5,15 persen atau lebih. Faktor utama yang mendorong hal itu adalah konsumsi rumah tangga yang tetap positif.

Di saat ekonomi global penuh ketidakpastian, tuah konsumsi rumah tangga masih diandalkan. Maklum, ia menyumbang lebih dari 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Karena itu, tugas utama pemerintah dan stakeholder lain adalah menjaga daya beli yang diwujudkan dengan tingkat inflasi nan terjaga.

Pada Senin, 1 Juli 2019, BPS melaporkan inflasi Juni 2019 mencapai 0,55 persen. Dengan demikian, inflasi tahunan sebesar 3,28 persen atau masih di bawah target dalam APBN 2019, yaitu 3,5 persen. Ini menjadi catatan positif di tengah tantangan gejolak harga pangan pada musim Ramadan dan Lebaran serta tingginya tarif angkutan udara.

Sinergi dan koordinasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengawal inflasi dalam wujud Tim Pengendali Inflasi harus terus diperkuat. Meskipun puncak lonjakan harga sudah berlalu, masih ada momen di mana harga kerap melonjak, yaitu Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Oleh karena itu, kewaspadaan harus terus dijaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement