REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengkritisi aksi represif dari aparat kepolisian saat menangani aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak sejumlah RUU pada Selasa (24/9). Menurutnya, penanganan aksi demonstrasi yang keliru bisa berdampak kepada kepala pemerintahan.
"Aksi represif tak akan mampu membendung penyampaian aspirasi semacam aksi mahasiswa saat ini. Di lapangan, aparat keamanan tidak boleh jadi juri, tidak boleh ikut menilai. Bahwa penanganannya akan eksesif atau tidak, berlebihan atau tidak, itu soal nanti, itu tantangannya," ujar Khairul ketika dikonfirmasi Republika, Kamis (26/9).
Dirinya mengapresiasi penyampaian aspirasi yang dilalukan oleh mahasiswa. Menurut Khairul, aksi demonstrasi mahasiswa menunjukkan bahwa mereka memahami dalam posisi mana mereka harus terlibat.
"Di isu-isu seperti apa mereka terlibat, isu yang memang menjadi aspirasi masyarakat luas. Bukan kepada isu-isu politik identitas tertentu," tuturnya.
Akan tetapi, Khairul menilai keberanian dan inisiatif mahasiswa ini masih rawan ditunggangi oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Karena itu, aparat keamanan diminta menggunakan SOP yang jelas saat menangani kondisi di lapangan.
"Penanggungjawab harus jelas. Kasus di sejumlah negara, penanganan keliru oleh polisi bisa berdampak kepada kepala pemerintahan.Makanya aparat keamanan harus ketat pada SOP. Kalau SOP-nya eksesif (melampaui batas) Ya SOP itu yang harus direvisi," tegas Khairul.
Dia mengingatkan saat ini kepolisian menggunakan rujukan sistem 'democratic policing'. Jika demikian, penyampaian aspirasi dan perbedaan pendapat masyarakat seharusnya tidak boleh dihalangi.
Bahkan, kondisi saat ini merupakan tantangan penegakan hukum di era demokrasi. "Saya menyebut ini sebagai tantangan penegakan hukum dan keamanan di era demokrasi. Dan sejauh ini, kita belum melihat Polri mampu mengelolanya. Perpolisian yang demokratis, baru sebatas wacana," tambahnya.