REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dapat mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) berpotensi mengancam terhentinya proses penegakan hukum sejumlah kasus mega korupsi. Kewenangan mengeluarkan SP3 ini menjadi amanat revisi kedua UU 20/2001 tentang KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, hasil kajian tim transisi di internal KPK menyimpulkan bahwa sedikitnya penyidikan tiga kasus mega korupsi berpotensi terhenti pascapengesahan UU KPK. Tiga kasus tersebut, yakni penyidikan mega korupsi KTP-elektronik, dugaan korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), dan mafia minyak dan gas (migas).
Selain tiga kasus besar itu, Febri mengatakan, penyidikan kasus lainnya yang kini sedang ditangani KPK juga terancam tak dapat dilanjutkan karena terikat dengan UU 20/2001 yang baru. Ia mencontohkan kasus lainnya seperti dugaan korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan, dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
”Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara,” ujar Febri lewat pesan singkatnya, Rabu (25/9).
Menurut Febri, kewenangan mengeluarkan SP3 seharusnya memang tidak ada dalam UU KPK. Sebab, dalam penananan kasus selama ini terbukti bahwa KPK tidak membutuhkan wewenang SP3.
Apalagi, ia mengatakan, wewenang KPK mengeluarkan SP3 tak seperti di lembaga penegakan hukum lain, yang menghentikan penyidikan dan penuntutan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Menurut Febri, KPK merupakan lembaga penegak hukum khusus, yang dibentuk untuk menangani korupsi sebagai tindak pidana khusus.
Ketika penegak hukum lain mengeluarkan SP3 tanpa batas waktu, dia mempertanyakan alasan KPK harus diberikan masa kedaluwarsa penyidikan selama dua tahun. “KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Bukan tindak pidana umum. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, yang tidak terdapat batasan waktu untuk SP3,” kata Febri.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, tanpa SP3, KPK seperti ‘melegalkan’ praktik zalim dalam penegakan hukum. Praktik tersebut, yakni ‘menyiksa’ batin seorang yang sudah ditetapkan tersangka, tetapi tak kunjung datang kepastian hukum.
“Buktinya RJ Lino empat tahun digantung. Kenapa kok digantung? Kan begitu. Siapa orang mau digantung seperti itu?," ujar mantan Panglima TNI itu di Istana Presiden, Jakarta, Senin (23/9).
Mengenai hal ini, Febri sudah meresponsnya pada Senin (23/9) lalu. Ia mengatakan kasus RJ Lino tak bisa dijadikan alasan dalam pemberian SP3 di KPK.
Febri mengatakan ada seribu lebih kasus dan seribu lebih tersangka korupsi yang diproses KPK selama ini dan berakhir di persidangan. “Kami pastikan tidak ada kasus yang digantung. Karena penyidikannya terus berjalan,” kata Febri.