Rabu 25 Sep 2019 12:29 WIB

Setahun Bencana Palu, Banyak Korban Masih Tinggal di Tenda

Warga tinggal di tenda darurat karena tidak dapat huntara.

Tenda hunian warga korban bencana gempa dan likuefaksi di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (24/4/2019).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Tenda hunian warga korban bencana gempa dan likuefaksi di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (24/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Hampir setahun bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di sejumlah wilayah Provinsi Sulawesi Tengah masih banyak korban yang tinggal di tenda-tenda darurat karena tidak mendapatkan hunian sementara (huntara).

"Kami mau kemana lagi," kata Jaka (43 tahun), seorang korban gempa bumi di Kelurahan Wombo Kalongo,Kecamatan Taweli Kota Palu, Rabu (25/9).

Baca Juga

Disela-sela kunjungan tim media centre Wanaha Visi Indonesia (WVI) pusat dalam rangka meninjau sejumlah kegiatan pascabencana alam gemp bumi yang menimbulkan tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala), lelaki dua anak itu menuturkan selain masih tinggal di tenda, ia juga kekurangan bahan makanan.

Jaka mengatakan di Kelurahan Wombo Kalonga hingga kini masih ada sekitar 15 kepala keluarga (KK) yang belum memiliki tempat tinggal huntara. Apalagi hunian tetap (huntap).

Karena itu mereka masih bertahan tinggal di pengungsian meski kekurangan bahan makanan. Untuk bisa memenuhi kebutuhan makan/minum keluarganya, ia bersama istrinya mengupas dan mengiris bawang goreng dengan upah rata-rata per hari Rp 30 ribu.

"Ya dengan upah tersebut, bisa membeli kebutuhan sehari-hari seperti beras , sayur dan ikan," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Fatmi, seorang korban gempa bumi di desa Wombo Kalongo. Ia juga mengatakan masih tinggal di tenda pengungsi bantuan salah satu lembaga kemanusiaan di luar negeri.

Ia mengatakan sebelumnya ada banyak pengungsi yang tinggal ditenda. "Tapi lainnya sudah kembali ke rumah mereka membangun pondok sederhana yang penting bisa untuk tempat tinggal," kata Fatmi.

Baik Fatmi maupun Jaka, keduanya mengaku kehilangan rumah dan mata pencaharian saat gempa bumi terdahsyat di Sulteng itu meluluhlantakkan rumah-rumah warga di Desa Wombo Kalongo. Rumah yang dibangun bertahun-tahun dengan susah payah tersebut hancur berkeping-keping.

"Saat itu kami pikir sudah mau kiamat," ujarnya.

Dia mengatakan semua korban gempa bumi yang rumahnya rusak belum mendapatkan bantuan jadup dan dana stimulan untuk bangunan-bangunan rumah rusak. Mereka berharap apa yang dijanjikan pemerintah tidak hanya sebatas janji, tetapi segera diteralisasikan.

"Kasihan kami pak, sudah tidak punya rumah, juga selama pascabencana hampir setahun ini belum tersentuh bantuan seperti halnya yang telah diterima korban lainnya," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement