REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA – Pesawat Twin Otter DHC6-400 dengan nomor registrasi PK-CDC diduga menabrak tebing pegunungan di Distrik Hoeya, Kabupaten Mimika, Papua. Hal itu disampaikan Direktur Operasi Basarnas Brigjen TNI (Mar) Budi Purnomo.
“Dari rekaman penerbangan yang kita dapatkan setiap dua menit, di bagian akhir terlihat pesawat ini membentur dinding gunung. Kami akan memberikan penjelasan lebih lengkap kalau sudah menemukan potongan-potongan dari pesawat itu, terutama rekaman penerbangan dan rekaman suara pilot,” ujar Budi di Timika, Selasa (24/9).
Sebelumnya, armada milik PT Carpediem itu hilang kontak pada Rabu (18/9) lalu. Pesawat yang membawa 1.700 kilogram beras program Beras Sejahtera (Rastra) Bulog itu dikemudikan kapten pilot Dasep Ishak dengan kopilot Yudra Tetuko. Ikut pula seorang mekanik bernama Ujang Suhendar dan seorang penumpang, yakni Bharada Hadi Utomo, anggota Brimob yang bertugas di Ilaga.
Pesawat itu diketahui lepas landas dari Bandar Udara Mozes Kilangin, Timika, pada pukul 10.36 WIT, Rabu (18/9). Sesuai jadwal, armada ini seharusnya mendarat di Bandar Udara Ilaga pada pukul 11.09 WIT, tetapi koordinatnya meninggalkan frekuensi radar sejak pukul 10.54 WIT pada hari yang sama. Status hilang kontak pun kemudian ditetapkan.
Pada Ahad (22/9), posko utama SAR di Bandara Mozes Kilangin mengonfirmasi penemuan benda-benda yang diduga serpihan pesawat tersebut di lereng pegunungan, sekitar 10 kilometer dari Kampung Mamontoga, Distrik Hoeya, Kabupaten Mimika, Papua. Koordinat lokasi itu berjarak kira-kira 44 mil laut (nautical mile) pada radial 58 derajat dari Timika. Berdasarkan pengakuan seorang warga lokal, lokasi penemuan puing-puing komponen pesawat itu berada dekat Kali Amokonogong.
Budi menjelaskan, rencana evakuasi ketiga awak pesawat dan satu penumpang pesawat nahas itu hingga Selasa (24/9) siang belum bisa dilakukan. Pasalnya, kondisi cuaca di lokasi mempersulit tim evakuasi.
“Hari ini evakuasi terpaksa dihentikan sementara karena tadi kami mau mencoba mendaratkan helikopter tapi angin cukup kuat sampai 30 knot. Tidak lama kemudian, awan juga sudah turun. Jadi, memang kondisi cuaca sangat menghambat operasi ini sehingga berlangsung lama,” ujar Budi, kemarin.
Karena kendala-kendala itu, masa evakuasi pun diperpanjang hingga tiga hari berikutnya. Kesepakatan ini dicapai dari hasil koordinasi antara Basarnas dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Lokasi jatuhnya pesawat Twin Otter itu sudah diketahui berada pada area yang terjal. Kemiringan medan mencapai 80 hingga 90 derajat pada ketinggian sekitar 3.900 meter di atas permukaan laut.
Menurut Budi, evakuasi korban serta pengumpulan komponen penting pesawat tersebut hanya dapat dilakukan dengan menggunakan helikopter rotor wing berkapasitas dua orang. Dia menjelaskan, opsi evakuasi melalui jalur darat dinilai tidak akan efektif. Pasalnya, jarak antara lokasi jatuhnya pesawat dan daerah berpenghuni terdekat, yakni Kampung Mamontoga, sekitar tujuh kilometer. Jarak itu pun dalam bentangan lurus, bukan riil yang mesti berkelok-kelok.
“Kita memerlukan waktu yang lebih cepat. Satu-satunya cara yaitu mendekat menggunakan helikopter. Kondisi cuaca di lokasi itu tidak bisa diprediksi. Cuacanya bisa terbuka cuma sekitar setengah jam atau satu jam. Selebihnya, selalu gelap,” kata Budi.
Menurut rencana, pihak Basarnas akan mendatangkan dua orang pendaki dari Vertical Rescue Indonesia (VRI) yang memiliki keahlian dalam mendaki dinding gunung tegak. Hingga kini posko bersama telah didirikan oleh tim gabungan, yang terdiri atas Basarnas, TNI, dan Brimob. Posko tersebut berada di dua lokasi terdekat dari lokasi jatuhnya pesawat, yaitu Kampung Mamontoga dan Ilaga. n antara ed: hasanul rizqa