Selasa 24 Sep 2019 14:01 WIB

Indef Beberkan Sanggahan Atas Opini 'KPK Hambat Investasi'

"KPK itu bisa menghambat upaya investasi," kata KSP Moeldoko.

Ratusan massa di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat bentrok dengan pegawai KPK dan pihak kepolisian pada Jumat (13/9) sore. Ratusan massa dari Himpunan Aktivis Indonesia dan Aliansi Pemuda Mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK dan mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK sejak Ahad (8/9) lalu.
Foto: Republika/Dian Fath Risalah
Ratusan massa di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat bentrok dengan pegawai KPK dan pihak kepolisian pada Jumat (13/9) sore. Ratusan massa dari Himpunan Aktivis Indonesia dan Aliansi Pemuda Mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK dan mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK sejak Ahad (8/9) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Dessy Suciati Saputri, Bambang Noroyono

Pengamat ekonomi dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ada anggapan yang keliru jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghambat investasi di Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa teori korupsi sebagai oli pembangunan telah lama dibantah.

Baca Juga

"Jika bilang KPK hambat investasi, pertanyaannya investasi yang mana? Apa karena banyak konglomerat ditangkap karena menyuap pejabat? Yang senang aturan penegakan hukum longgar kan pengusaha yang tidak jujur dan itu justru merusak bisnis karena ciptakan persaingan yang tidak sehat," ujar Bhima kepada Republika, Selasa (24/9).

Bhima juga menilai, bahwa dengan adanya pelemahan KPK melalui revisi UU untuk lembaga antirasuah itu saat ini justru berdampak negatif untuk kepercayaan investor yang hendak masuk ke Indonesia. Ia mengungkapkan, masalah utama daya saing di negara ini adalah tentang pemberantasan korupsi di dalam ranking daya saing global.

Selanjutnya adalah masalah infrastruktur, SDM dan birokrasi. Bahkan, Bhima menyebutkan dalam laporan incidence of corruption pada 2018 lalu, Indonesia menempati peringkat 80 dunia.

“Saya cuma khawatir tahun depan ranking daya saing kita justru merosot,” kata Bhima menambahkan.

Lebih lanjut, Bhima menjelaskan jika investor yang hendak masuk ke suatu negara harus mempertimbangan biaya-biaya ‘siluman’ atau lain-lainnya. Ia mengatakan, dengan korupsi yang marak terjadi, hal itu berarti investasi menjadi lebih malah karena suap oknum pejabat dan pada akhirnya membuat ICOR atau incremental capital output ratio di atas 6 alias tidak efisien.

“Sekarang pemberantasan korupsi malah mau dilemahkan, reaksi investor sudah jelas tidak setuju dan terlihat larinya dana asing (nett sells) Rp 6,7 triliun dalam sebulan terakhir, salah satunya karena polemik KPK. Jangan heran ditengah situasi perang dagang, relokasi pabrik dari Cina dan Amerika Serikat (AS) tidak ke Indonesia karena ketidakpastian penegakan hukum,” jelas Bhima.

Direktur Deregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot mengatakan, selama ini para pelaku usaha menghadapi berbagai masalah dalam investasi, di antaranya adalah dengan banyaknya kepala daerah yang tersangkut operasi tangkap tangan (OTT) terkait masalah perizinan. Ia menyebutkan bahwa pelaku usaha diambangkan untuk mendapat izin yang menjadi kewenangan daerah, karena adanya vested interests atau kepentingan-kepnetingan yang berhubungan dengan kedudukan atau kekuasaan.

Yuliot mengatakan, para investor tidak menginginkan adanya red tape atau pita merah yang berarti suatu peraturan berlebih atau penerapan terhadap aturan resmi yang kaku yang dianggap mengurangi produktivitas dan menyebabkan penundaan pengambilan keputusan. Sebagai contoh adalah adanya pungutan liar (pungli) yang menjadi tidak dapat diprediksi.

“Investor justru tidak ingin adanya red tape, karena adanya pungli cost yang dikeluarkan menjadi unpredictable. Masalahnya, banyak aparat daerah yang mempersulit proses perizinan dan tidak mengambil sikap membantu menyelesaikan percepatan perizinan,” ujar Yuliot kepada Republika, Selasa (24/9).

Karena itu, Yuliot menegaskan diperlukan perubahan dalam hal mentalitas dan mindset dari pemerintahan pusat maupun daerah terkait layanan perizinan. Dari sisi BKPM, ia mengatakan, pelaksanaan kegiatan investasi KPK sangat membantu masalah pungli di sektor perizinan.

“Seian itu juga dengan Stranas Pencegahan Korupsi KPK dan BKPM melakukan evaluasi terhadap peraturan KL yg mengambat investasi,” kata Yuliot menambahkan.

Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menjelaskan perbedaan sikap Presiden terhadap RUU KPK dan RUU KUHP. Presiden memutuskan menunda pengesahan RUU KUHP, namun melanjutkan untuk mengesahkan RUU KPK.

"Tentu ada alasan-alasan. Pertama hasil survei menunjukkan bahwa yang menyetujui untuk revisi UU KPK itu lebih banyak," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (23/9).

Ia mengatakan, berdasarkan hasil survei dari Litbang Kompas, sebanyak 44,9 persen masyarakat ingin agar UU KPK direvisi. Selain itu, revisi dilakukan dengan pertimbangan keberadaan lembaga antirasuah itu bisa menghambat upaya investasi.

"Ada alasan lagi berikutnya bahwa lembaga KPK itu bisa menghambat upaya investasi," ucap dia.

Menurut Moeldoko, revisi UU KPK tak melemahkan lembaga antikorupsi. Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap lembaga KPK pun dinilainya merupakan hal yang wajar. Begitu pula terkait poin pengadaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam revisi UU KPK.

Mantan Panglima TNI itupun kemudian mencontohkan kasus yang menjerat RJ Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga unit QCC sejak 2015.

"Berikutnya SP3, ada case-case yang menunjukkan bahwa dengan tiadanya SP3 berapa orang jadi korban? Lu mau jadi korban? Buktinya RJ Lino empat tahun digantung. Kenapa kok digantung? Kan begitu. Siapa orang mau digantung seperti itu?" ungkapnya.

Dalam revisi UU KPK ini disebutkan KPK memiliki kewenangan menerbitkan SP3 terhadap suatu kasus dugaan korupsi jika tak tuntas dalam waktu dua tahun. Menurut Moeldoko, jika suatu lembaga mendapatkan kekuasaan absolut justru akan membahayakan. 

"Jadi, enggak adalah orang yang dikasih kekuasaan absolut itu bahaya. Bahaya. Dan negara yang demokrasi tidak ada kekuatan absolut itu. Presiden saja siapa pun boleh kontrol kok," kata dia.

photo
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) berbincang dengan Kepala Staf Presiden Moeldoko (kiri) disela-sela Sidang Kabinet Paripurna tentang ketersediaan anggaran dan pagu indikatif 2020 di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019).

Respons KPK

KPK tak setuju dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang menyebut lembaga pemburu koruptor itu menghambat investasi sehingga UU KPK harus diubah. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan, tudingan tersebut merupakan analisis tanpa data dan inkonsisten.

“Kami (KPK) sangat menyayangkan pernyataan tersebut,” ujar Febri dalam pesan singkatnya, Senin (23/9).

Febri tak ingin menganggap tuduhan kepada KPK itu sebagai upaya pemerintah untuk membiarkan kembali maraknya prilaku korupsi di lini bisnis dan investasi di Indonesia. Tudingan tersebut terkesan memberikan legitimasi praktik korupsi hanya demi kemajuan ekonomi. Atau, kata dia, pemerintah seperti memaklumi praktik koruptif, demi alasan investasi.

“Oleh karena itu, perlu data yang valid sebelum terburu-buru menyimpulkan sesuatu,” ujar Febri.

Febri menambahkan, tuduhan Moeldoko kepada KPK itu bukan hanya tak berdasar, melainkan juga menggambarkan inkonsistensi penilaian pemerintah sendiri terkait dengan investasi di Indonesia. Febri mengatakan, meski tak menyebut terkait KPK,

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan tentang indeks kemudahan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Febri juga menyarikan data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BPKM) yang justru menunjukkan adanya peningkatan realisasi investasi dari tahun ke tahun. Di mana, selama penilaian itu, penindakan KPK berjalan normal.

“Pertanyaannya (kepada Moeldoko) investasi apa dan yang mana yang dimaksud terhambat?” ujar Febri.

Sebaliknya, Febri mengatakan, justru dari keyakinan para ekonom dan investor keberadaan dan konsistensi KPK dalam pemberantasan korupsi selama ini menjadi tolok ukur kemajuan investasi. Salah satu faktor yang menentukan suatu badan usaha atau perorangan untuk memutuskan akan berinvestasi dalam jumlah maksimal, yaitu mewajibkan perlunya analisis tentang kepastian hukum, terutama dalam sistem hukum pemberantasan budaya koruptif.

Apalagi, kata Febri, investor tersebut berasal dari negara dengan peringkat antikorupsi yang tinggi. Itu sebabnya, kata dia, menjadi tak relevan tudingan Moeldoko, yang menganggap KPK sebagai lembaga yang menghambat investasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement