Sabtu 21 Sep 2019 05:00 WIB

Menkumham Jelaskan Pasal Aborsi di RKUHP

Yasonna menegaskan RKUHP bukan untuk mengkriminalisasi perempuan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan keterangan pers di Jakarta, Jumat (20/9).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan keterangan pers di Jakarta, Jumat (20/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly meluruskan pasal-pasal kontroversial dalam Rancangan Undang Undang RKUHP, salah satunya pasal tentang aborsi dalam Pasal 470 RKUHP. Yasonna menegaskan, pasal dalam RKUHP bukan untuk mengkriminalisasi perempuan korban pemerkosaan.

Menurut Yasonna, pasal tentang aborsi ini memang sudah diatur dalam KUHP saat ini. Namun, justru pidana hukuman aborsi di KUHP lama lebih berat dibandingkan dalam RKUHP yang dirancang DPR dan Pemerintah.

Baca Juga

"Ini juga ada di UU kita yang sekarang, di KUHP yang eksisting ada, ancamannya berat 12 tahun. Tapi kan sekarang dunia sudah berubah. Maka diatur ancaman hukuman yang lebih rendah," ujar Yasonna saat menggelar konferensi pers dengan wartawan di Graha Pangayoman Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat (20/9).

Politikus PDIP itu juga menegaskan pidana bagi pelaku aborsi tidak berlaku bagi korban perkosaan maupun karena alasan medis.

"Seorang perempuan yang diperkosa, oleh karena dia tidak menginginkan janinnya dalam tahapan terminasi tertentu dapat dilakukan. karena alasan medik, mengancam jiwa misalnya," ujarnya.

Menurut Yasonna, hal  itu juga yang sudah sudah diatur dalam UU lainnya. Karenanya, Ia menegaskan pasal tersebut bukan diperuntukan untuk menangkap setiap orang tanpa alasan jelas. "Itu juga diatur dalam UU Kesehatan. Tidak seolah-olah kita ciptakan ini seolah langit akan runtuh dan kita akan menangkapi semua orang. Ini saya perlu klarifikasi," ujar Yasonna.

Karenanya, ia berharap semua pihak mencermati pasal-pasal RKUHP secara utuh. Yasonna juga mengungkap pasal lain yang dipersoalkan yakni pasal penghinaan presiden, pasal terkait pembiaran unggas, pasal terkait mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinahan, kohabitasi, pengggelandangan, aborsi dan tindak pidana korupsi.

Yasonna mengungkap, Pemerintah memutuskan untuk menunda agar masyarakat disosialisasikan pasal-pasal tersebut. "Memang kita udah sepakat bahwa presiden mengatakan bahwa tunda dulu untuk klarifikasi. nanti pada next kita bahas," katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan pengesahan rancangan kitab Undang-Undang hukum pidana (RKUHP) ditunda. Jokowi telah meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikan keputusan ini kepada parlemen, Jumat (20/9).

Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan masukan-masukan dari masyarakat sipil dan kalangan lain yang keberatan dengan pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP ini.

"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Untuk itu, saya telah memerintahkan Menkumham selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI. Yaitu, agar pengesahan RUU KUHP ditunda," jelas Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9).

Jokowi juga meminta pembahasan RUU KUHP dilanjutkan oleh anggota DPR RI periode selanjutnya. Ini mengingat masa bakti anggota DPR RI periode ini sudah hampir habis. Presiden juga meminta Menkumham terus menjaring masukan dari kalangan masyarakat dan para ahli terkait poin-poin dalam RKUHP yang masih menjadi polemik.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement