Sabtu 21 Sep 2019 00:05 WIB

ICW: Ada Dendam, Pembahasan RUU KPK Terlalu Cepat,

Pembahasan RUU KPK hanya berlangsung selama hitungan hari.

Rep: Adam Maulana/ Red: Teguh Firmansyah
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana ,  ketika mengisi Diskusi Pelemahan KPK 4.0 di Kantor Pukat UGM, Jumat (13/9).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana , ketika mengisi Diskusi Pelemahan KPK 4.0 di Kantor Pukat UGM, Jumat (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Indonesia Corupption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut proses pembahasan revisi Undang Undang KPK oleh DPR RI dan pemerintah tergolong cepat. Pembahasan, kata ia hanya selesai dalam 15 hari. Ia menganggap hal itu dilakukan karena merasa DPR dan pemerintah  ada dendam terhadap KPK. 

"Dilihat dari teori kausalitas, itu sangat mudah dilihat, bagaimana DPR dendam terhadap KPK atau mungkin pemerintah pun dendam terhadap KPK, sehingga pembahasan revisi Undang - Undang KPK hanya selesai kurang dari 15 hari, jadi publik sangat mudah membaca nya, karena itulah mereka ngebut pembahasan revisi UU KPK," kata Kurnia saat diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jum'at (20/9).

Baca Juga

Staf Divisi Hukum Monitoring Peradilan ICW Wana Alamsyah mengatakan, proses pembahasan RUU KPK tersebut  prosesnya sangat cepat.  Hanya 13 hari dan langsung disahkan.

"Yang menjadi masalah pada proses ini adalah tidak kourum nya forum tersebut, kita lihat pada 5 september adanya rapat paripurna yang dilakukan DPR, dari 560 orang anggota dewan hanya 70 orang yang datang," kata Wana saat Diskusi, di Kantor ICW, Jum'at (20/9)

Selain itu, ia melihat 17 september 2019 (3 hari lalu),  pada saat rapat pengesahan revisi Undang - Undang KPK, dari 560 anggota dewan hanya 80 orang datang pada pengesahan tersebut, kemudian bertambah 108 orang. 

"Yang menjadi pertanyaan adalah anbsensinya ada 280 orang, ini yang menjadi persoalan, bagaimana revisi UU KPK ini tidak diseriusi oleh pemerintah dan DPR dalam konteks pembahasan," kata Wana.

Wana menjelaskan, dilihat dalam subtansi dalam revisi Undang - Undang KPK pada pasal 7e ayat 8, ia menyebut,  ada kesalahan elementer yang dilakukan oleh perumus revisi tersebut.

Dalam pasal tersebut  mengenai, pengangkatan dewan pengawas, yang mana dalam pasal 37 ayat 8, itu bukan calon dewan pengawas tetapi calon pimpinan.  Ia menduga pasal tersebut adalah multiface dari mekanisme calon pengangkatan pimpinan KPK.

"Isu lebih teknis ada tiga hal, pertama dewan pengawas, memiliki tiga wewenang yang krusial di dalam KPK, pertama terkait penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Kalau seandainya kita bahas tentang penyadapan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, penyadapan yang dilakukan KPK itu termasuk dalam low full interception, jika anggota DPR konsen terhadap penyadapan, yang lebih diutamakan seharusnya RUU penyadapannya, bukan revisi Undang - Undang KPKnya," ungkap Wana.

Ia menambahkan, bagaimana bila seandainya, RUU KPK dan RUU Penyadapan disahkan dan akan ada benturan secara hukum. Ia menganggap harmonisasi regulasinya akan berantakan.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement