Kamis 19 Sep 2019 14:13 WIB

Jokowi Disebut tak Perlu Cari Pengganti Imam Nahrawi

Posisi Imam bisa digantikan sementara secara merangkap oleh Puan Maharani.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Menpora Imam Nahrawi
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Menpora Imam Nahrawi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan, untuk mengisi kekosongan jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya tidak usah menunjuk menteri baru. Posisinya bisa digantikan sementara secara merangkap oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia (Menko PMK) Puan Maharani. 

"Untuk mengisi kekosongan jabatan, Jokowi sebaiknya cukup menunjuk pelaksana tugas yang bisa dirangkap oleh Menteri Koordinator Pembangunan Menko PMK Puan Maharani sebagai Menpora ad interim. Sebab Kemenpora adalah salah satu kementerian dalam rumpun koordinasi Kemenko PMK," ujar Ismail dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (19/9).

Baca Juga

Pilihan menunjuk menteri ad interim ini dinilainya lebih tepat mengingat masa jabatan kabinet Jokowi Jilid I akan berakhir pada 20 Oktober mendatang. Namun, alternatif lain yang bisa dipilih adalah menunjuk sosok baru sebagai menteri definitif.

Namun, kata Ismail, untuk memastikan kontinuitas, sebaiknya pilihan menteri definitif yang akan menjabat lebih kurang 1 bulan adalah sosok yang juga telah dipilih Jokowi untuk mengisi posisi Menpora pada Kabinet Kerja Jilid II Oktober mendatang. Dia memberikan masukan jika alternatif ini dipilih Presiden.

"Yang harus dipastikan dalam mengisi posisi menteri baru, termasuk mengisi Kabinet Kerja Jilid II nanti, Jokowi tidak perlu mempertimbangkan klaim partai-partai politik yang merasa bahwa kementerian tertentu adalah portofolio kementerian yang harus diisi kader partainya. Sebagai contoh, Menpora saat ini diisi oleh kader PKB, maka biasanya klaim yang muncul adalah bahwa sosok yang paling cocok mengisi kursi menpora adalah kader PKB. Jokowi tidak perlu mempertimbangkan klaim-klaim seperti ini," tuturnya. 

Pasalnya, selama ini justru klaim portofolio partai telah membangun jejaring birokrasi sektarian yang loyalitasnya memusat pada sosok menteri dan partai politiknya. Bahkan terdapat kementerian yang selama 10-15 tahun diduduki oleh menteri dari kader partai politik tertentu.

"Kebiasaan ini harus dipangkas karena politisasi birokrasi oleh partai politik diduga kuat telah menjadi instrumen pelanggengan praktik koruptif termasuk dalam rekruitmen dan promosi jabatan," ujarnya.

Ismail menambahkan, Jokowi harus mengabaikan klaim-klaim itu dan jangan membiarkan mesin birokrasi kementerian tertentu berpolitik dan dikendalikan oleh partai politik. "Zona nyaman potensi korupsi ini harus diusik dengan menunjuk menteri-menteri secara acak. Dengan cara ini, potensi politisasi birokrasi dapat dicegah dan loyalitas birokrasi memusat pada mandat legal dan konstitusionalnya, yakni memberikan pelayanan dan menjalankan program pemerintah untuk kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran kelompok dan golongan," kata pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement