REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pelaksana Harian Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, mengatakan hujan buatan terus diciptakan untuk mengantisipasi dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hujan buatan diintensifkan di Sumatra dan Kalimantan .
Menurut Agus, pada Rabu (18/09) operasi pemadaman karhutla dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dilakukan di dua provinsi, yakni Riau dan Kalimantan Tengah. "Pesawat CN 295 melakukan penerbangan menyemai awan pada pukul 13.30 - 15.45 WIB di wilayah Kabupaten Katingan, utara Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas. Pesawat terbang pada ketinggian 8000 feet dan menghabiskan bahan semai garam NaCl sebanyak 1.500 kilogram, " ujar Agus dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (19/9).
Dia melanjutkan, di Riau pesawat Hercules C-130 melakukan penyemaian dengan menabur garam NaCl sebanyak 3.4 ton di daerah Dumai dan Rokan Hilir. Kemudian di Padang Sidempuan, Sumatera Utara juga dilakukan penyemaian hujan buatan sesuai potensi pertumbuhan awan yang berpotensi menghasilkan hujan.
Menurut Agus, operasi TMC di Riau berhasil menurunkan hujan di Dumai, tepatnya di Kelurahan Batu Teritip yang berbatasan dengan Rokan Hilir. Hujan turun kurang lebih selama 30 menit dengan intensitas sedang.
"Operasi TMC akan terus dilakukan di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Disediakan tiga pesawat bantuan TNI yaitu dua disiagakan di Pekanbaru dan satu pesawat siaga di Palangkaraya," taknahnya.
Umat Islam berdoa usai melaksanakan Sholat Istisqa (sholat minta hujan) di halaman Makodam XII/Tanjungpura di Kabupaten Kubu Raya, Selasa (17/9/2019).
Sebelumnya, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengataka,n pihaknya akan mengintensifkan hujan buatan untuk mengatasi musim kemarau yang berlangsung lebih lama pada tahun ini. Selain itu, hujan buatan juga diadakan untuk mengurai polutan akibat karhutla.
Dwikorita mengungkapkan, BMKG memprediksi puncak musim kemarau 2019 terjadi pada Agustus. Akan tetapi, dampak musim kemarau akan terasa hingga akhir September bahkan awal Oktober.
"Musim kemarau berkepanjangan ini menyebabkan sejumlah permasalahan, salah satunya kekeringan dan karhutla. Karena itu pemerintah mengatasinya dengan membuat hujan buatan, " ujar Dwikorita di Graha BNPB, Sabtu (14/9) lalu.
Hujan buatan pun diadakan untuk mengantisipasi dampak karhutla. Dwikorita mengungkapkan saat ini kandungan polutan di Riau, khususnya di Kota Pekanbaru sudah melebihi ambang batas garis merah.
"Kami melihat di Pekanbaru sejak 9 September lalu sudah mulai ambang batas garis merah. Kemudian melonjak lagi hingga 300 mikron. Inilah alasan hujan buatan harus segera dibuat," tegas Dwikorita.
Namun, pihaknya mengaku kesulitan melakukan hujan buatan. Sebab, sejak Juli hingga hari ini langit di Indonesia hampir selalu dan bersih hampir tidak ada awan.
"Sehingga upaya yang dilakukan sejak Juli untuk membuat hujan buatan itu tidak mudah, karena untuk berhasil bibit-bibit awan yang akan disemai itu hampir tidak ada,” lanjut Dwi.
Akan tetapi, Dwi mengatakan sejak Jumat (13/9) pukul 22.00 WIB, BMKG mulai mendeteksi awan hujan di beberapa daerah di Indonesia mulai. Awan mulai terlihat di Aceh, Sumatra Utara, Sumatea Barat, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga, BMKG pun meminta bantuan dari BNPB untuk segera menerjunkan personelnya dan bersiap menciptakan hujan buatan dengan menembakkan garam ke awan hujan. "Setiap menit kita pantau kapan awan muncul, kami minta Pak Doni (Doni Monardo Kepala BNPB) untuk segera bertindak di lapangan menembak awan itu dengan garam supaya menyemaikan untuk awan hujan,” tambah Dwikorita.