REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah menyepakati hasil revisi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Kesepakatan diambil dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I.
"Izinkan saya untuk memberikan pengesahan untuk diketok. Bisa disepakati?" tanya Ketua Komisi III Aziz Syamsudin yang dijawab setuju oleh peserta rapat di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/9).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mewakili pemerintah juga sepakat RKUHP dibawa dalam Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU. Ia mengatakan, persetujuan RKUHP untuk dibawa ke pembicaraan tingkat II merupakan hal yang membahagiakan dan membanggakan.
"Selain mempertimbangkan suatu perbuatan dan juga memperhatikan aspek Individual tindak pidana dan berusaha menjaga keseimbangan antara faktor objektif perbuatan pidananya dengan faktor subjektif," ujar Yasonna.
Sebelumnya, terdapat tujuh isu yang menjadi polemik selama pembahasan RKUHP. Isu pertama yang dibahas adalah hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat. Di RKUHP baru, ada aturan perbuatan yang menurut hukum setempat di daerah termasuk pelanggaran pidana adat.
Perkara kedua adalah terkait pidana mati. Di RKUHP baru, hukuman mati tetap ada, namun bukan lagi pidana pokok melainkan pidana khusus yang bersifat alternatif.
Ketiga yakni soal penghinaan terhadap presiden. Di RKUHP, penghinaan untuk presiden harus dengan delik aduan langsung dengan hukuman lebih tinggi daripada pasal penghinaan terhadap orang biasa.
Perkara keempat yakni soal pasal kesusilaan. Ada keringanan pemidanaan atas perzinahan. Selain itu, polemik LGBT dan perbuatan pencabulan akan dibahas secara lebih rinci. Lalu, perkosaan juga mengalami peluasan makna menjadi gender netral.
Kelima, yang menjadi perkara adalah tindak pidana khusus. Hal ini menjadi polemik ketika terorisme, korupsi, narkotika, yang ikut dimasukkan dalam RKUHP, yang menyebabkan pidana tersebut menjadi pidana umum.
Perkara keenam, yakni terkait ketentuan peralihan. RKUHP baru ini akan berlaku lewat UU sektoral selama 3 tahun sejak diundang-undangkan. Peraturan turunan, UU sektoral, dan lain lain, harus sudah ditindaklanjuti mengikuti aturan baru KUHP dalam waktu 3 tahun sejak KUHP diundangkan. Isu ketujuh, yakni soal ketentuan penutup.
Namun, Komisi III DPR RI setuju untuk menghapus Pasal 418 yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang perzinaan. Penghapusan pasal itu sesuai permintaan dari pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM.
"Jadi, pasal 418 untuk dilakukan drop perlu kami sampaikan bahwa dapat disetujui dalam forum lobi," ujar Azis.