Selasa 17 Sep 2019 16:26 WIB

Pakar: Pengesahan Revisi UU KPK Praktik Legislasi Terburuk

Legislasi yang baik harus memastikan pemetaan dampak bagi semua pihak.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Ismail Hasani
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ismail Hasani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani menyebut jika revisi UU KPK merupakan praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Menurutnya, selain cacat formil, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang justru akan menjalankan UU KPK.

Dia mengatakan, legislasi yang baik harus memastikan pemetaan dampak bagi semua pihak. Dengan demikian, lanjut dia, kehadiran produk hukum baru itu dapat diterima dan berjalan efektif.

Baca Juga

"Padahal KPK adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan UU hasil revisi ini," kata Ismail dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (17/9).

Dia berpendapat, praktik legislasi sebagaimana digambarkan dalam parade kilat revisi UU KPK adalah manifestasi korupsi legislatif. Dia mengatakan, hal itu adalah kinerja legislasi yang memungkinkan dan memudahkan orang melakukan tindak pidana korupsi atau membuat lembaga-lembaga pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif bekerja.

"Materi-materi yang dikandung dalam revisi justru memperlemah KPK dan memangkas energi pemberantasan korupsi," katanya.

Direktur Eksekutif SETARA Institute ini menilai, lambatnya respon Presiden Jokowi dan singkatnya proses pembahasan RUU menggambarkan jika niat pelemahan KPK memang sudah dirancang sejak awal. Ia menambahkan, pelemahan kemudian tinggal menunggu momentum yang tepat dimana semua i’tikad dugaan pelemahan KPK itu dijalankan. 

"Momentum itu ada pada kemenangan Jokowi dalam Pemilu 2019 dan di penghujung akhir masa jabatan DPR RI," katanya.

Ismail mengatakan, secara politik Jokowi tidak lagi memerlukan citra konstruktif publik untuk memberikan efek elektoral karena telah terpilih kembali. Dia menilai, Jokowi benar-benar menegaskan dirinya sebagai petugas partai yang secara patuh menundukkan diri pada kehendak partai-partai politik. 

Ismail melanjutkan, momentum masa berakhirnya DPR Periode 2014-2019 telah memberikan keleluasaan pada segelintir ‘penguasa’ parlemen menjalankan hasrat pelemahan KPK. Hasrat itu sejak awal terus diujicobakan karena hampir separuh anggota DPR sudah tidak lagi menjalankan tugasnya secara efektif.

"Pelemahan KPK telah berjalan sempurna. Dari berbagai segi, revisi UU KPK secara keseluruhan telah mengikis sifat independensi KPK yang sangat berpengaruh pada kinerja KPK di masa mendatang," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement