REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly membantah angapan bahwa revisi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah upaya melemahkan tugas dan wewenang KPK. Ia mengatakan revisi merupakan upaya penguatan dan penyempurnaan komisi anti-rasuah itu.
"Ini undang-undang sudah 17 tahun, tentu perlu perbaikan penguatan, jangan dilihat perubahan rencana undang-undang ini untuk melemahkan, tidak. Justru menyempurnakan, menguatkan," ujar Yasonna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9).
Yasonna mengatakan hal ini dilakukan dengan menguatkan upaya pencegana. Ia juga tidak sepakat mengutamakan pencegahan berarti meniadakan upaya penindakan.
"Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, perlu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan lebih efektif. Mengutamakan pencegahan bukan berarti kegiatan penindakan diabaikan," ujar Yasonna.
Ia menilai pengaturan mengenai prosedur penyadapan juga tidak melemahkan KPK. Ia menjelaskan, di luat negeri penyadapan dilakukan oleh suatu lembaga saat dalam proses penyidikan.
Dengan adanya revisi tersebut, KPK diizinkan untuk melakukan penyadapan saat proses penyelidikan. Namun, dalam pasal 12B disebutkan penyadapan dapat dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Izin itu harus diberikan Dewan Pengawas paling lambat 1x24 jam sedangkan penyadapan dapat dilakukan selama enam bulan dan dapat diperpanjang. Ketentuan ini untuk menjunjung hak asasi manusia.
"Kewenangan penyadapan kita atur supaya baik dan tidak ada penyalahguanaan abuse of power," ujar Yasonna.
Yasonna mengatakan pemerintah juga mendapatkan dukungan publik mengenai revisi ini. Ia menjelaskan, hasil survei dari sebuah lembaga justru menyatakan bahwa mayoritas publik mendukung revisi UU KPK.
Selain itu, Yasonna menyebut, dirinya telah berkomunikasi denga petinggi KPK, seperti Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarif mengenai poin-poin yang akan direvisi.