Senin 16 Sep 2019 18:28 WIB

Ilham Habibie: Hoaks adalah Tantangan Medsos

Menurut Ilham, masyarakat harus lebih jeli mengkurasi, mencerna, memahami informasi.

Anak sulung Bacharuddin Jusuf Habibie, Ilham Akbar Habibie
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Anak sulung Bacharuddin Jusuf Habibie, Ilham Akbar Habibie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilham Akbar Habibie, putra sulung Presiden ketiga RI BJ Habibie mengakui bahwa hoaks dan sejenisnya menjadi tantangan seiring kian populernya penggunaan media sosial di masyarakat. Hal tersebut disampaikannya usai menerima kunjungan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyerahkan gelar kehormatan Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia kepada mendiang Habibie.

"Tantangan kita sekarang lebih ke medsos. Kalau kita menerapkan prinsip yang sama (dengan pers), akhirnya sebetulnya kembali kepada pembaca," katanya, di Jakarta, Senin (16/9).

Menurut dia, masyarakat sebagai konsumen atau pembaca harus lebih jeli dalam mengkurasi, mencerna, dan memahami setiap informasi yang didapatkan dari medsos.

Pelarangan medsos akan menjadi langkah yang kontraproduktif, kata dia, mengingat pemerintah dan masyarakat juga perlu masukan atau informasi dari berbagai sumber di era keterbukaan informasi seperti sekarang.

"Kalau kita melarang orang menyatakan pendapatnya, saya kira itu juga akan tidak memaksimalkan informasi berkualitas yang bisa kita pilih sebagai konsumen," katanya.

Di sisi lain, diakui Ilham, melalui medsos kerapkali muncul hoaks, fake news, hate speech, post truth, dan sebagainya.

"Saya kira, kalau orang menghasut pada umumnya, di manapun saja, apa saja, baik dalam bentuk tertulis atau lisan, saya pikir ada konsekuensi hukumnya," katanya.

Artinya, kata dia, tetap ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, misalnya menyebarkan ujaran kebencian, berita bohong, apalagi hasutan terkait suku, agama, ras, antargolongan.

Ilham mengatakan setiap negara juga menerapkan rambu-rambu seiring kebebasan informasi, seperti Jerman yang melarang kaitannya dengan penyebutan Nazi.

"Saya lama di Jerman jadi saya tahu. Kalau kita menyebut hal-hal, kayak misalnya Nazi gitu, enggak boleh. Karena, itu sensitivitas histori mereka. Di Indonesia mungkin ada yang serupa, SARA misalnya," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement