Jumat 13 Sep 2019 14:45 WIB

Alumni Hukum Universitas Airlangga Soroti Masa Depan KPK

KPK juga menghadapi persoalan konflik internal perpecahan antarpenyidik.

Rep: Febrian A/ Red: Budi Raharjo
 Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, menyoroti dinamika yang terjadi akhir-akhir ini terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, menyoroti dinamika yang terjadi akhir-akhir ini terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, menyoroti dinamika yang terjadi akhir-akhir ini terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tantangan kedepan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah yang menjadi sorotan utama, terlebih pascaterpilihnya pimpinan baru dan masih berlangsungnya revisi undang-undang lembaga anti rasuah itu.

Sekretaris IKA Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iwan Soenaryoso, mengatakan, rencana perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 disniyalir banyak pihak sebagai upaya pelemahan KPK dari luar. Di lain sisi, KPK juga menghadapi persoalan konflik internal antarpegawai, terutama kabar perpecahan antarpenyidik.

"Persoalan-persoalan ini langsung ataupun tidak langsung akan menganggu fokus kerja KPK baik secara kelembagaan maupun kinerja para pimpinannya," kata Iwan dalam siaran persnya yang diterima Republika di Jakarta, Jumat (13/9).

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga Profesor Basuki Rekso Wibowo, menilai, revisi UU KPK sama saja dengan memutilasi lembaga anti rasuah itu. Terlebih, para pimpinan KPK yang baru terpilih pada Jumat (13/9) dini hari tadi, juga setuju dengan revisi tersebut.

Padahal, tantangan besar sudah menanti lima orang pimpinan baru KPK itu. Yakni, rendahnya indeks persepsi korupsi di Indonesia. “Tahun 2018 nilai CPI kita masih 38, untuk mencapai target nilai 50 sebagaimana termuat dalam Stranas PK 2019, masih berat. Political Corruption oleh pejabat negara dan korupsi oleh lembaga hukum masih jadi faktor tertinggi penyumbang korupsi”, ujar Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Tri Sasongko.

Tantangan besar ini malah harus dihadapi pimpinan terpilih dengan lebih berat jika revisi terkait kewenangan KPK diputuskan DPR bersama pemerintah. "Jika KPK disamakan dengan lembaga lainnya, maka kelak tidak ada lagi orang-orang extraordinary yang tertarik menjadi pimpinan KPK," ucap Fredrik J Pinakunary, pengacara dan pemerhati tindak pidana korupsi.

IKA Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga bersepakat untuk terus mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. Mereka juga menolak segala upaya pelemahan terhadap KPK.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI dalam proses pemilihan calon pimpinan (capim) KPK, Jumat (13/9) dini hari, telah memilih pimpinan lembaga anti rasuah itu untuk periode 2019-2023. Setelah melalui proses voting, akhirnya DPR menyepakati lima komisioner KPK terpilih, yakni Alexander Marwata, Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli, dan Nurul Ghufron.

Sementara itu, Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinisiasi oleh DPR, juga telah disetujui Presiden. Joko Widodo pada hari Rabu (11/9) telah menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) revisi UU KPK ke DPR.

Surpres bernomor R-42/Pres/09/2019 tersebut berisi penjelasan bahwa Presiden telah menugaskan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement