REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam dan demokrasi, corak watak dan kepribadian dari seorang Baharuddin Jusuf Habibie. Dua paham tersebut yang menurut Ilham Akbar Habibie diperjuangkan oleh ayahnya sepanjang hidup. Putra sulung Habibie itu mengatakan, selain pengembangan teknologi dan industri, ayahnya tak pernah berhenti memajukan peradaban Islam dan demokrasi untuk kemajuan Indonesia.
“Bapak pula memperjuangkan Islam, dan demokrasi di Indonesia. Agar supaya ditunjukkan kepada dunia ini bahwa keduanya (Islam dan demokrasi) kompatibel,” kata Ilham ketika memberikan sambutan keluarga saat pemakaman Habibie, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis (12/9).
Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia (1998-99) dimakamkan di TMP Kalibata, Kamis (12/9). Tokoh nasional asal Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu menghembuskan nafas terakhir di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat (Jakpus) pada Rabu (11/9) petang, lantaran sakit dan menua. Usianya sudah 83 tahun. Habibie dimakamka di sebelah pusara istrinya, Hasri Ainun Besari yang meninggal sembilan tahun lalu, 2010.
Menengok segudang kiprah nasional Habibie, selain di pucuk pemerintahan, ia memang dekat dengan semangat mengelaborasi ke-Islam-an dan demokrasi di Indonesia. Peran Habibie yang mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sebagai lembaga pemikir dari kalangan Islam di Tanah Air pada 1990. Dalam pembangunan demokrasi, Habibie pun diakui sebagai pemimpin nasional yang membuka seluas-luasnya sistem bernegara dengan memberikan kebebasan pers dan multipartai dalam pemilihan umum.