REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum pidana Kapitra Ampera mengatakan, pihak-pihak yang menolak usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), bisa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Menurutnya, hak legislasi pembuatan Undang-undang itu ada pada DPR RI bersama dengan Presiden.
Kapitra mengatakan, sedangkan KPK hadir karena Undang-undang sehingga harus tunduk pada UU tersebut. "Fenomena penolakan revisi UU KPK dapat dikategorikan sebagai perbuatan menentang konstitusi," kata Kapitra di Jakarta, Senin (9/9).
Menurutnya, bila ada kelompok masyarakat yang menentang revisi UU KPK, bisa mengikuti prosedur hukum yang berlaku yakni dengan mengajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang itu baik untuk keseluruhan atau sebagian.
"Apabila UU itu dianggap bertentangan dengan Undang-undang lainnya, maka dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Itulah jalan konstitusional dan demokratis dalam negara hukum dan demokrasi," ujarnya.
Ia menambahkan penggalangan massa merupakan bentuk subversif yang bisa menjadi preseden buruk bagi hukum dan demokrasi. "Jadi bukan dengan menggalang people power
DPR telah mengusulkan adanya perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK saat rapat paripurna pada Kamis (5/9). Ada beberapa poin yang menjadi usulan untuk direvisi dalam UU KPK diantaranya kedudukan KPK disepakati berada pada tingkat eksekutif atau pemerintahan, rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK, aturan penyadapan, kewenangan SP3, status pegawai KPK dan penyelidik harus dari kepolisian tidak independen.