Senin 09 Sep 2019 04:47 WIB

Mengapa Saya Menulis Biografi M Natsir?

Bangsa ini semestinya mencatat dengan tinta emas keberhasilan Natsir

Mantan Sekretaris Mohammad Natsir (Pendiri Masyumi), Lukman Hakiem di Kantor MUI Pusat, Senin (1/3).
Foto:
Mantan Sekretaris Mohammad Natsir (Pendiri Masyumi), Lukman Hakiem di Kantor MUI Pusat, Senin (1/3).

Menulis tentang Natsir, adalah menulis tentang seorang Muslim-patriot yang sejak sebelum sebelum lahir negara Republik Indonesia telah menuangkan pikirannya tentang masa depan negara yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya itu. Polemik antara Sukarno dengan Natsir, haruslah dilihat dalam kerangka ini.

Tidaklah mengherankan, sejak detik-detik awal lahirnya Republik Indonesia, Natsir telah secara sadar melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan Indonesia. Bangsa ini semestinya mencatat dengan tinta emas keberhasilan Natsir –dengan Mosi Integral yang didukung oleh semua pemimpin fraksi di Parlemen Republik Indonesia Serikat--  memulihkan negara kesatuan dengan cara-cara yang bermartabat, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa mempermalukan pihak manapun.

Mengenai dasar negara Pancasila, sejak awal pendirian Natsir sudah sangat jelas. Di majalah Hikmah, 29 Mei 1950, Natsir menegaskan pendiriannya bahwa perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah para pemimpin pada saat taraf perjuangan memuncak di tahun 1945. Natsir yakin, di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besar beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata bertentangan dengan ajaran Quran.

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, orang berdiri dan keramaianKeterangan Foto: Suasana peluncuran Biografi Moh Natsir karya Lukman Hakiem di Jakarta Sabtu lalu (7/9). Tampak penyair Taufiq Ismail memberikan pemaparanya terkait buku tersebut.

Setahun sebelumnya, dalam pidato berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia, ketika menjelaskan hubungan Pancasila dengan Islam, Bung Kasrno berkata: “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Instititute for International Relation, beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”

Di Majelis Konstituante, majelis yang diberi kewenangan untuk membentuk Undang-Undang Dasar, Natsir kembali menegaskan pendiriannya; terlepas dari tempatnya dalam urutan perumusan Pancasila –entah di atas atau di bawah—sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi sumber dari keempat sila lainnya. Pancasila yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai point of reference itulah yang tanpa ragu, dia dukung.

Pendirian Natsir sejalan dengan pendirian seorang tokoh Nasrani, Arnold Mononutu. Dalam pidato di Konstituante, anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) itu tidak mau menyebut Pancasila sebagai “hasil penggalian dari masyarakat Indonesia. Bagi Mononutu, Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil.      

Dalam pidato yang disambut dengan penuh suka cita oleh Natsir itu, Mononutu dengan tegas berkata: “Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami, pokok dan sumber dari lain-lain sila. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa,Pancasila akan menjadi filsafat materialistis belaka.” Lebih lanjut Mononutu menegaskan bahwa sebagai orang Kristen dia percaya sila Kebangsaan mempunyai sumber dalam Ketuhahanan Yang Maha Esa, seperti dipesan oleh Isa Al-Masih menurut Injil Matius yang berbunyi: “Maka Injil Kerajaan ini kelak dikabarkan dalam segala dunia, akan satu kesaksian bagi segala bangsa, sebab itu pergilah kamu mengajar segala bangsa”.

Pancasila dalam pemahaman Mononutu merupakan satu weltanschaung yang bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa, satu jalan memikir yang dapat dipertanggungjawabkan atas norma-norma filsafat. “Pancasila merupakan dalam jiwanya satu kebulatan sejati. Sila pertama tidak dapat diceraikan daripada lain-lain sila. Lain-lain sila tidak dapat pula diceraikan dari sila yang pertama,” kata Mononutu.

Akan tetapi, yang penting menurut Mononutu ialah bahwa Pancasila sebagai realisasi dari jalan pikiran monistis bangsa Indonesia adalah dasar negara yang bersifat religieus-monistis, adalah “titik pertemuan dari segala golongan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, apapun juga Nabi golongan itu masing-masing.”

Dengan riang gembira, Natsir menyambut pidato Mononutu: “Bukankah ini berarti, Saudara Ketua, kalau sudah demikian, di sinilah kita sampai pada satu titik pertemuan antara umat Kristen dan umat Islam, yakni sama-sama hendak mencari dasar negara yang bersumberkan kepada wahyu Ilahi. Baik yang melalui Injil ataupun melalui Quran. Dengan demikian akan terdapatlah kiranya kenyataan bahwa baik golongan Saudara Mononutu maupun golongan kami mendapat persesuaian dalam satu hal essentieel, yakni sama-sama menolak paham sekularisme sebagai falsafah negara.”

Tafsir Natsir dan Mononutu sejalan dengan tafsir Mohammad Hatta yang di dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa Pancasila terdiri dari dua fundamen: fundamen moral dan fundamen politik. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen moral menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik. Selanjutnya Hatta berkata: “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran.”

Fundamen politik ialah empat sila lainnya yang kesemuanya adalah cita-cita yang hidup dan tertanam dalam pergerakan kemerdekaan kita di masa yang lampau,  dan karena itu menjadi tujuan yang hidup bagi Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Lebih tiga puluh lima tahun kemudian, dalam wawancara dengan majalah Panji Masyarakat, Natsir menegaskan kembali pendiriannya. “Di mata seorang Muslim,” kata Natsir, “perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori sebagai ‘barang asing’ yang berlawanan dengan ajaran Al-Quran. Ia melihat di dalamnya suatu pencerminan sebagai yang ada pada sisinya. Tetapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik dengan Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi bukanlah berarti Pancasila itu Islam. Kita berkeyakinan yang tidak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan iklim Islam, Pancasila akan tumbuh subur.”

Gambar mungkin berisi: Lukman Hakiem

Pendapat Natsir itu didasari keyakinan bahwa iman, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditumbuhkan semata-mata hanya dengan mencantumkan kata-kata dan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pancasila. “Tegasnya, dalam pangkuan Quran, Pancasila akan hidup subur. Satu dan lain tidak a priori bertentangan, tapi tidak pula identik (sama),” ujarnya sambil menambahkan bahwa semua itu telah dia ucapkan dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab pada tahun 1954.

Natsir tidak hanya terlibat intens di dalam proses perumusan dasar negara, tetapi tidak kurang intensnya di dalam proses penciptaan lambang negara. Sedikit diketahui publik bahwa Natsir adalah anggota Panitia Lambang Negara yang telah melahirkan lambang Burung Garuda Pancasila. Natsir pula yang menyumbangkan bintang emas bersegi lima sebagai lambang sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement