REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta disarankan meningkatkan payung hukum pemberlakuan rekayasa lalu lintas ganjil genap (gage) dari peraturan gubernur (Pergub) menjadi peraturan daerah (Perda). Ini agar penindakan terhadap pelanggaran gage punya dasar yang kuat.
Pakar Hukum Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi mengatakan gubernur memang dibolehkan oleh Undang-Undang melakukan rekayasa jalan/ pembatasan penggunaan koridor, dengan mengeluarkan Pergub ataupun Instruksi Gubernur. Namun kewenangan pemasangan rambu larangan melintas adalah domain Kementerian Perhubungan.
"Dengan pemasangan rambu larangan maka ada pidananya. Bila tidak ada SK Kemenhub maka pidana yang dilakukan juga potensial berlawanan dengan hukum", kata Ahmad Redi dalam diskusi di Gedung M Kampus 1 Universitas Tarumanagara, Jakarta, Kamis (5/9). Diskusi ini digelar Generasi Optimis Indonesia (GO Indonesia) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (Untar).
Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Jakarta 2014-2019, Bestari Barus, menilai tidak ada masalah dengan Pergub Gage. Hal ini karena jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sudah tidak sebanding dengan infrastruktur jalan yang ada, sehingga menimbulkan kemacetan dimana-mana dan polusi udara yang membuat Jakarta sempat menjadi kota dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia.
Jika tujuannya untuk mengurangi polusi udara, Bestari Barus mengusulkan agar kebijakan tersebut juga berlaku bagi kendaran bermotor roda dua. "Kita akan dorong juga bahwa motor adalah penyumbang terbesar polusi udara," ujar Bestari.
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rolas Sitinjak justru menilai ada hak konsumen yang dilanggar dalam kebijakan gage. Ia mempertanyakan kenapa beli mobil kalau tidak bisa dipakai. Kenapa harus bayar pajak setahun kalau hanya bisa dipakai setengah tahun. Itu tidak fair. Padahal negara menjamin hak konsumen terhadap barang yang dibelinya. Bila kita sudah membeli suatu barang, maka kita berhak menggunakannya, sejauh tidak melawan hukum.
"Apakah Peraturan Gubernur lebih tinggi dari UU ? Tentu tidak. Negara disini seolah cuci tangan. Masyarakat beli barang pajaknya diambil, pemanfaatannya diberi pajak, tapi dibatasi penggunaannya hanya tiga kali seminggu, kayak minum obat saja,"ungkap Rolas.
Menindaklanjuti diskusi tersebut, Generasi Optimis Indonesia akan merumuskan hasil dan kesimpulan dari diskusi ini dan lalu akan meneruskannya kepada para pihak terkait untuk dilakukan evaluasi. "Minimal kami akan desak untuk ditinjau ulang pemberlakuan perluasan Ganjil Genap ini sampai terbit dulu Perda yang mengatur," kata Ketua Bidang Kajian Kebijakan Publik GO Indonesia, Bayu Endro Winarko.