REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan tersangka terhadap Pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Veronica Koman dianggap tindakan represif terhadap kemerdekaan sipil menyampaikan informasi dan berpendapat. Amnesty menilai jika kepolisian menuduh Veronica melakukan provokasi maka analisa kasusnya menjadi rancu, bahkan berujung pada bentuk kriminalisasi.
“Kriminalisasi terhadap Veronica Koman akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang terkait Papua,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam pernyataan pers yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (4/9).
Menurut Usman, ada sejumlah pelanggaran hak asasi serius yang dilakukan oleh kepolisian dalam kasus yang dituduhkan terhadap Veronica. Tuduhan tersebut dianggap berkelindan dengan kejadian di Papua dan Papua Barat.
Usman menerangkan apa yang disampaikan Veronica merupakan bagian dari hak sipil untuk menyampaikan informasi ketika pemerintah menutupi fakta peristiwa dan gagap menyelesaikan masalah utama terkait yang terjadi di asrama mahasiswa Papua Surabaya, Jumat (16/) dan Sabtu (17/8).
Usman menerangkan, hal yang dilakukan oleh Veronica lewat jejaring media sosial (medsos) pun bukan bagian dari aksi provokasi yang dianggap sebagai pemicu gelombang massa di Papua dan Papua Barat. “Kalau tuduhan polisi memprovokasi, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh polisi adalah siapa yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat dari unggahan di Twitter?” kata Usman.
Ia menegaskan, jika informasi yang disampaikan Veronica dianggap tak akurat maka menjadi kewajiban bagi aparat kepolisian melakukan pelurusan dan klarifikasi fakta. “Bukan malah dengan melakukan kriminalisasi terhadapnya,” terang Usman.
Usman menilai, penetapan tersangka tersebut membuktikan aparat dan pemerintah yang tak paham menyelesaikan akar masalah kerusuhan yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Ia mengatakan kepolisian seharusnya membuktikan diri sebagai penegak hukum yang mampu untuk adil dan profesional dalam pengusutan tuntas serta menghukum pelaku rasisme dan tindakan represif yang dialami mahasiswa Papua saat pengepungan dan penggrebekan asrama di Jalan Kalasan, Surabaya.
“Akar masalah sesungguhnya adalah tindakan rasisme oleh anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian di asrama Papua di Surabaya,” kata Usman.
Dalam insiden di Surabaya itu, Usman mengatakan, tindakan represif dan tak proporsional dari aparat dan kepolisian, terbukti dengan penggunaan gas air mata, melakukan intimidasi, dan penggrebekan paksa para mahasiswa yang tak dalam situasi berbahaya. Bahkan, ia mengatakan, mereka tak melakukan perlawanan.
Untuk itu, Amnesty Internasional meminta Kepolisian Daerah di Jawa Timur (Polda Jatim) segera menghentikan kasus dan mencabut penetapan tersangka terhadap pegiat hukum pendampingan masyarakat Papua dan Papua Barat tersebut. “Polda Jatim harus segera menghentikan kasus dan mencabut status tersangka terhadap Veronica Koman,” kata
Polda Jatim menetapkan Veronica sebagai tersangka dalam kasus pengepungan, penggrebekan, dan rasialisme yang terjadi di asrama Papua di Surabaya. Kepolisian dituduh melakukan provokasi lewat pesan di media sosial twitter terkait insiden tersebut. Kepolisian menilai, pesan-pesan yang disampaikan Veronica terkait insiden Surabaya, juga memicu gelombang massa anarkistis yang terjadi di Papua dan Papua Barat sejak Senin (19/8).
Atas aksi tersebut, Polda Jatim menjerat Veronica dengan sejumlah pasal pidana dalam UU ITE dan KUHP. Republika mencoba untuk meminta tanggapan Veronica terkait status tersangkanya itu. Namun sejak Rabu (4/9) siang, aktivis asal Medan, Sumatera Utara (Sumut) itu, tak bisa dihubungi. Di Mabes Polri, Karo Penmas Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, kepolisian mendeteksi keberadaan Veronica yang saat ini berada di luar negeri.
Dia mengatakan, Polri akan melibatkan Interpol untuk melakukan penangkapan terhadap perempuan kelahiran 1988 itu. “Untuk saudara VK (Veronica) ini statusnya masih warga negara Indonesia yang saat ini berada di luar negeri. Maka itu nanti Polri akan memint bantuan Interpol untuk proses penegakan hukumnya,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (4/9).