Rabu 04 Sep 2019 20:08 WIB

Presiden Baiknya Fit and Proper Test untuk Tentukan Kabinet

Uji kepatutan dan kelayakan itu agar presiden meminta rekam jejak kandidat menteri.

Rep: Dian Erika Nugraheny / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi kandidat menteri
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi kandidat menteri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) untuk menentukan menteri yang masuk ke dalam kabinet lima tahun mendatang. Ia menilai hal ini penting untuk menguatkan sistem presidensial. 

Alasannya, kata Bayu, desain undang-undang kementerian yang dimiliki Indonesia dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 sejak awal sudah seolah membelenggu kebebasan Presiden dalam membentuk kabinet. Padahal, UU ini mengambil rujukan dari UUD 1945 pasal 17 yang berbunyi pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam UU. 

Baca Juga

"Kalau kita lihat pada pasal 19 ayat (1), menyatakan dalam hal perubahan pembubaran kementerian, presiden diharuskan meminta pertimbangan kepada DPR," ujar Bayu dalam diskusi di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu (4/9). 

Meski UU tersebut menggunakan kata pertimbangan, hal tersebut tetap berpotensi menyandera Presiden. Kondisi ini terjadi jika pertimbangan oleh DPR nantinya sangat berbeda dengan harapan presiden. 

Padahal, lanjut Bayu, jika berbicara soal postur kabinet, sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden dalam sistem presidensial. Karena itu, ia bersama para pakar hukum tata negara lainnya mengusulkan secara tertulis kepada presiden ada mekanisme fit and proper test yang dilakukan oleh presiden dalam memilih menterinya.  

Namun, fit and proper test yang dilakukan tidak seperti yang dilakukan dalam mencari calon pimpinan lembaga negara. Uji kepatutan dan kelayakan tersebut lebih kepada presiden meminta rekam jejak para kandidat menteri yang diusulkan oleh parpol pendukungnya.  

Informasi soal rekam jejak ini, kata Bayu, bisa diminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komnas HAM,  KPAI atau lembaga lainnya yang bersinggungan dengan persoalan rekam jejak bakal calon  menteri.  

Ia mengatakan rekam jejak itu digunakan oleh Presiden untuk mengetahui apakah kandidat yang sudah ada sesuai dengan kriteria menteri kabinetnya atau belum. "Termasuk, sebagai early warning apakah pernah melakukan transaksi yang mencurigakan, apakah ada kasus pelanggaran HAM atau kasus asusila? Kita harus belajar dari kasus Idrus Marham setelah dilantik menjadi menteri tidak lama kemudian ditetetapkan menjadi tersangka KPK," tambah Bayu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement