REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji berpendapat munculnya rumusan pasal penghinaan pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, delik tersebut menghindari politisasi hukum.
"Format pasal penghinaan tersebut sangat moderat dan masih dalam batasan dan dinamika prinsip hukum pidana," kata Indriyanto dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (31/8).
Bahkan, pada negara-negara dengan sistem demokrasi yang liberal, baik sistem hukum pidana bercorak hukum adat (common law) maupun perdata (civil law), selalu dicantumkan 'Guarding Law for Protection of State' (menjaga hukum untuk melindungi negara). Ia mengatakan adalah ketentuan tentang perlindungan terhadap simbol-simbol kenegaraan, termasuk kepala negara.
"Hanya, yang berbeda adalah tentang tata pola penempatan, yakni pada bab keamanan negara (security of state) atau pada bab ketertiban umum (public order)," kata wakil ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Menurut Indriyanto, pemerintah sudah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Caranya, yaitu memperbaiki redaksional delik sehingga jauh dari makna haatzaai artikelen (pasal penabur kebencian) yang sifatnya tidak demokratis.
Secara hukum pidana, kata Indriyanto, tim RKUHP sudah benar merumuskan delik dengan tidak mencantumkan unsur ridicule (cemooh), hatred (kebencian), dan contempt (penghinaan), yang bersifat tidak demokratis. Sehingga, pernyataan-pernyataan yang dilakukan dengan cara keras tetapi objektif, zakelijk dan konstruktif tidak dijadikan dasar pemidanaan.
“Karena itu, rumusan tim terhadap ketentuan menyerang kehormatan, martabat, dan harkat Presiden tetap berbasis delik yang demokratis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM. Bahkan, dirumuskan pula sebagai delik aduan, sehingga bisa terhindar dari politisasi hukum," ujarnya.
Dengan demikian, ujar Indriyanto, rumusan pasal oleh tim RKUHP sudah tepat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. "Sehingga, rumusan pasal itu tetap menjaga hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat secara bebas, walaupun dipahami juga bahwa tidak ada suatu legitimasi adanya kebebasan absolut secara universal," ucapnya.