Kamis 01 Aug 2019 04:57 WIB

Mungkinkah Menghidupkan GBHN Lagi di Era Jokowi?

Dalam era Jokowi GBHN mungkin bisa hidup lagi?

DPD menyerahkan usulan mengenai GBHN kepada MPR.
Foto:

Konsekuensi paling mendasar dari dihidupkannya GBHN atau apapun namanya dengan substansi yang sama dengan GBHN hanya satu. Konsekuensi itu adalah presiden, terlepas dari siapapun figurnya tidak lagi leluasa seleluasa saat ini. Presiden dalam konteks itu tidak bisa lagi menentukan  sendiri dan mandiri arah dan prioritas pembangunan bangsa dan negara. Itu saja. Tidak lebih.

Tetapi bila presiden, terlepas dari siapapun figurnya kelak yang cukup jam terbangnya sebagai politisi, bisa saja memperoleh kembali mahkota yang hilang itu, bila, sekali lagi bila model GBHN baru kelak sama dengan model GBHN dahulu atau rencana pembangunan nasional jangka panjang yang terdapat dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Kesamaan relatif dari GBHN masa lalu dan RPJP yang terdapat lampiran UU Nomor 17 Tahun 2007 itu adalah sifatnya yang sangat umum dan politis, alias tak cukup teknokratis. 

Bila sifat dan kandungan GBHN baru nanti sangat umum, tak memiliki watak teknokratis, maka keleluasaan yang hilang itu akan kembali diperoleh presiden, terlepas siapapun figurnya kelak. Sifat RPJP yang sedemikian umum itulah yang memungkinkan presiden, sesuai kewenangannya berkesempatan tanpa batas mendefenisikan sendiri apa yang harus dan apa yang tidak harus dijadikan prioritas pembangunan pada masa pemerintahannya.

Lampiran UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP, karena sifatnya yang sangat umum, tidak secara eksplisit memuat gagasan atau rencana pembentukan kota baru untuk dijadikan  ibu kota negara ini misalnya, menjadi celah dan kesempatan konstitusional yang memungkinkan Presiden memunculkan gagasan pemindahan ibu kota negara. Kesempatan konstitusional ini diperkuat dengan kenyataan konstelasi politik relasi fungsional DPR-Presiden saat ini sedemikian cair.

Kombinasi kenyataan rumusan lampiran RPJP yang bersifat umum dan cairnya relasi DPR-Presiden, menghasilkan kenyataan lain yang menggelikan. Kenyataan yang menggelikan  itu adalah DPR kehilangan keterampilan politik untuk sekadar menempatkan isu pemindahan ibu kota sebagai isu konstitusional berbasis  UU Nomor 17 Tahun 2007 dan UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan.

Ini menjadi penjelas paling  otoritatif atas sikap para politisi yang hanya bisa bicara secara parsial dan personal, tanpa mengaitkan dan menempatkan isu itu kedalam kerangka kerja relasi kewenangan dan derajat ketepatan penggunaan wewenang konstitusional dua organ itu.

Terlepas dari soal itu, andai GBHN sungguh-sungguh dibentuk, maka sulit untuk tak memberi nilai GBHN sebagai dokumen hukum tentang arah dan prioritas pembangunan nasional yang dirumuskan bangsa Indonesia secara bersama melalui wakil-wakilnya di MPR, bukan oleh satu orang; presiden. Cara ini bernilai sebagai kongkritisasi, menghidupkan nilai-nilai khas Indonesia, gotong royong kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara ini melahirkan legitimasi kultural khas Indonesia.

Dunia tidak berubah dengan sendirinya. Dunia berubah  karena ada yang hendak mengubah, sehingga perubahan apapun itu, dalam sifat dan hakikatnya  selalu direncanakan. Perubahan yang direncanakan, menimbulkan konsekuensi jalannya perubahan itu dikendalikan, mudah diukur ketepatan dan ketidak-tepatannya. Itulah yang terjadi didunia global.

Para perencana perubahan dunia global, dengan cara yang cukup ampuh harus diakui telah sukses mengepung dunia lain dengan gagasan konstitusionalisme global. Dunia lain ditempatkan dalam keadaan harus beradaptasi, bahkan mengadopsi nilai-nilai konstitusionalisme global. Dalam menghadapi isu GBHN, fungsionaris konstitusionalisme global, hampir pasti mereduksi gagasan GBHN sebagai feodalisasi.

GBHN akan dinilai cara feodalisasi bangsa. Mudah bagi pemain-pemain global constitutionalism menandai GBHN sebagai cara feodalisasi bangsa, dengan senjata arah bangsa ditentukan bukan oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan meminjam kata-kata George Masson dilakukan oleh “ordinary citizens” politisi-politisi MPR. Legitimkah argumen ini? Tidak. Global Contitutionalism, dalam penandaan Somek, merupakan sebuah fantasi dalam ruang seminar.

 

Global constitutionalism, dalam sifatnya merupakan sebuah impian  para perencana dunia hendak menjadikan dunia sebagai satu tatanan terkordinasi, yang sepenuhnya liberal. Bermain pada medan konstitusionalisme global sama halnya membiarkan aktor global yang sepenuhnya liberal mengendalikan arah pembangunan sebuah bangsa.

Pemain global tahu lebih mudah mengendalikan satu orang daripada mengendalikan banyak orang.

Pada titik itu kehadiran GBHN yang dibuat oleh orang banyak, MPR, jelas mengisolasi secara relatif pemain global mengendalikan dan mengarahkan bangsa ini, sebagaimana mereka mengalami kesulitan  mengendalikan dan mengarahkan China. China saat ini sekadar sebagai ilustrasi, menurut kajian Kishor Mahbubani, mantan Duta Besar Singapura untuk PBB, mencapai semuanya saat ini melalui perubahan yang direncanakan dan dikendalikan. China boleh dikatakan tidak demokratis, tetapi kemajuan dibidang ekonomi dan teknologinya yang terus menghebohkan dunia, jelas bukan sesuatu yang dapat disepelekan. 

Bersama dan bermusyawarah dalam sebuah lembaga permusyawaratan rakyat merencanakan arah dan prioritas pembangunan bangsa, untuk alasan apapun, tidak dapat dikatakan tidak demokratis. Tidak. Bila seorang diri mendefenisikan arah dan prioritas pembangunan bangsa disebut demokratis, mengapa bersama dan bermusyawarah dalam sebuah lembaga permusyawaratan rakyat disebut tidak demokratis? Tidakkah demokrasi mengandalkan akuntabilitas? Akuntabilitas apa yang hilang dari bermusyawarah membuat GBHN?

Selamat datang GBHN, yang isi dan bentuknya tidak boleh sama dengan GBHN masa lalu, juga RPJP masa kini. Arah kehidupan bangsa dan negara, untuk alasan apapun, tidak cukup legitimasinya bila hanya didefenisikan oleh seorang presiden, terlepas siapapun figurnya kelak. Bergotong royong, bersama dalam semangat kebangsaan menentukan arah bangsa dan negara, sungguh terasa elok untuk disambut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement