Sabtu 31 Aug 2019 14:22 WIB

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Tuai Kritik

Kenaikan iuran mesti diiringi peningkatan kualitas pelayanan.

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melayani peserta di kantor BPJS Kesehatan Makassar, Sulawesi Selatan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melayani peserta di kantor BPJS Kesehatan Makassar, Sulawesi Selatan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan DPR-RI merespons besaran kenaikan iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diusulkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ketua Komisi IX DPR-RI Dede Yusuf menilai, besaran yang disarankan Kemenkeu masih terlalu tinggi.

Dia mengaku khawatir bila peserta mandiri justru tak lagi patuh membayar iuran bila usulan tersebutditerapkan. “Lonjakannya terlalu tinggi. Kalau kelas I tiba-tiba loncat jadi Rp 160 ribu sesuai dengan usulan Kemenkeu. Kami melihat, mestinya jaminan sosial ini adalah peran negara di situ,” ujar Dede di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Jumat.

Pada Selasa (27/8) lalu, pemerintah dan DPR mengadakan rapat untuk membahas persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Dalam kesempatan itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengusulkan skema kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat bila dibandingkan iuran yang berlaku kini.

Menkeu menyarankan, iuran mandiri kelas satu naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Iuran mandiri kelas dua diusulkannya naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan. Iuran mandiri kelas tiga diinginkannya setara dengan penerima bantuan iuran (PBI), yakni Rp 42 ribu per jiwa per bulan.

Bagaimanapun, lanjut Dede, pihaknya setuju bila iuran BPJS Kesehatan dinaikkan. Sebab, defisit keuangan yang dialami perusahaan terus terjadi hingga saat ini. Akan tetapi, kenaikan iuran mesti diiringi peningkatan kualitas pelayanan. “Kita berharap, kalaupun (iuran) naik, masyarakat tidak kaget. Asal bisa menjamin pelayanannya lebih baik,” kata Dede.

Pelayanan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan berbagai pihak. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) pada Jumat (30/8) mendatangi Kantor Wakil Presiden di Jakarta. Menurut Ketua Apeksi Airin Rachmi Diany, pelayanan BPJS Kesehatan di daerah-daerah tidak semaksimal pelayanan yang diberikan tiap pemerintah daerah setempat.

“Di satu sisi, ternyata pelayanan (BPJS Kesehatan) tidak semaksimal pada saat ada Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dulu sebelumnya yang ditanggung oleh kita (pemerintah daerah -Red),” ujar Wali Kota Tangerang Selatan itu, Jumat.

Dia mengungkap adanya dilema. Sebab, pemerintah daerah (pemda) disebutnya tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat setempat. Menurut Airin, hal itu terjadi karena tiap pemda diwajibkan untuk ikut membiayai PBI masyarakat di daerahnya. Sementara, pemda pun tidak diperkenankan untuk membiayai pelayanan kesehatan secara ganda dari APBD.

“Berdasarkan UU JKN (Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional), kita diwajibkan harus membayar iuran BPJS, dan kita tidak boleh ada dobel. Misalnya, kalau sudah dibayarkan iuran BPJS, maka tidak boleh lagi ada pembiayaan dari dana APBD," ujar Airin.

“Kan biasanya teman-teman wali kota sudah melakukan inovasi. Misal, pengobatan gratis untuk masyarakatnya,” sambung dia.

Dalam pertemuan dengan Wakil Presiden, Airin mengungkap harapan APEKSI supaya ada evaluasi terhadap pelayanan BPJS Kesehatan. Misalnya, persoalan rujukan rumah sakit. Pihaknya juga berharap, kebijakan pelayanan BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah.

“Misalkan kita bisa mmebuat kebijakan bagi daerah yang memang memiliki kemampuan, maka tidak wajib untuk membayar iuran BPJS, tetapi dengan program kegiatan. Misalkan, dengan teman-teman cukup menggunakan KTP, atau misal, sudah punya RS dan lain-lain,” kata dia. n. nawir arsyad akbar/fauziah mursid. ed: hasanul rizqa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement