Sabtu 31 Aug 2019 09:23 WIB

Ibu Kota Pindah Diyakini tak Berdampak Ekonomi bagi Jakarta

Jakarta tetap akan tumbuh menjadi pusat bisnis dan keuangan.

Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo
Foto: istimewa/doc pribadi
Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penduduk Jakarta tidak perlu khawatir terhadap dampak ekonomi dari pemindahan ibu kota. Pemindahan ibu kota  diyakini tidak akan membawa dampak kemunduran secara ekonomi.

"Para pemilik dan investor properti, baik perkantoran, hunian maupun komersial tidak perlu panik,” kata Pengamat ekonomi INDEF Dradjad WIbowo kepada Republika.co.id, Sabtu (31/8)

Dradjad mengatakan, rencana pemindahan tersebut masih belum kredibel, minimal dari sisi skema pembiayaannya. "Tanpa pembiayaan yang kredibel, bagaimana sebuah proyek bisa berjalan baik?” ungkapnya. Belum lagi dari sisi proses politik, undang-undang, hankam dan sisi lainnya.

Kalaupun asumsinya berjalan mulus, menurut Dradjad, berdasarkan pengalaman di negara lain, ternyata Ibu kota yang menjadi pusat bisnis dan keuangan tetap berkembang sebagai pusat bisnis dan keuangan. Meski tidak lagi menjadi ibu kota.

"Contohnya adalah Melbourne, ibukota Australia tahun 1901-1927. Pada tahun 1927, ibukota Australia pindah ke Canberra. Melbourne tetap menjadi pusat bisnis dan keuangan,” papar politikus senior PAN tersebut.

Almaty di Kazakhstan adalah contoh lainnya. Almaty adalah ibukota Kazakhstan tahun 1929-1997, baik saat masih bagian dari Uni Sovyet, maupun setelah merdeka tahun 1991.  Tahun 1997 ibukota Kazakhstan pindah ke Astana, yang kemudian bernama Nur Sultan mulai tanggal 23 Maret 2019. Almaty tetap menjadi kota bisnis dan keuangan yang berkembang.

Selain itu, menurut Dradjad, tidak sedikit kota yang tidak pernah menjadi ibu kota, justru lebih berkembang dari ibu kota. Sydney di Australia jauh lebih berkembang dari Canberra. Demikian juga dengan Zurich di Swiss yang menjadi pusat bisnis dan keuangan, bukan Bern yang merupakan ibu kota de facto. Swiss secara resmi tidak memiliki ibu kota.

New York City sempat menjadi ibu kota Amerika Serikat pada tahun 1785-1790. Karena deal politik terkait utang, New York “dibuang” sebagai ibu kota, diganti Washington. Tapi justru sejak 1790 New York berkembang menjadi kota terbesar di AS, dan menjadi pusat bisnis dan keuangan. "Bisnis dan keuangan global banyak dipengaruhi oleh New York Stock Exchange atau Wallstreet, bukan oleh sektor keuangan di Washington,” papar Dradjad.

Dradjad mengakui memang ada bekas ibu kota yang “kehilangan pamor”. Contohnya adalah Kyoto yang sekarang hanya menjadi kota ke-8 terbesar di Jepang. Tokyo yang menjadi pusat bisnis dan keuangan.

Tapi, menurut Dradjad, infrastruktur Jakarta jauh di atas kota lain di Indonesia, termasuk ibu kota baru jika terwujud. Perusahaan dan masyarakat selalu memilih kota dengan infrastruktur paling lengkap dan paling baik. Yang krusial adalah infrastruktur dan konektifitas, termasuk antara lain pelabuhan. 

Selain itu, perusahaan, bank, pasar modal dan sebagainya tidak bisa pindah begitu saja. Biayanya besar sekali.

Dradjad yakin, Jakarta akan bernasib seperti kebanyakan bekas ibu kota, bukan seperti Kyoto. Perusahaan mungkin akan menempatkan kantor government relation dan lobby politik di ibu kota baru. Tapi kantor pusat tetap di Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement